Wednesday, September 12, 2007

Pluralitas di Indonesia

"Plurality is a fact, but pluralism is political decision."

Tak terpenuhinya hak-hak kaum minoritas oleh negara telah menjadi persoalan di seluruh belahan dunia. Bahkan itu di Belanda, negara dimana kantor hak asasi manusia sedunia berada.

Akhir-akhir ini, penduduk Islam dianggap sebagai masalah di Belanda. Ini karena mereka menuntut diakui sebagai warga negara. Dulunya, pemeluk Islam ini datang dari berbagai negara, semisal Maroko dan Indonesia, sebagai buruh. Setelah puluhan tahun menetap di Belanda, mereka merasa berhak jadi warga negara dengan segala hak dan kewajibannya.

"Selama ini, yang menjadi warga negara Belanda itu hanyalah white (kulit putih) atau Christian (Kristen). Kalau perlu, Belanda akan melarang keberadaan Al Quran di sana." kata anggota dewan Kerja sama untuk Reformasi Pemerintahan UNDP (United Nation Development Program) Daniel Dhakidae dalam sebuah diskusi tentang hak-hak kaum minoritas yang diadakan Yayasan Interseksi, Selasa, pekan lalu di Jakarta.

Sebenarnya, minoritisasi atau proses marjinalisasi kelompok-kelompok minoritas, khususnya bidang agama,sosial, dan budaya, ada di mana-mana. Pengertian sederhana minoritisasi adalah terjadinya proses-proses atau "proyek" yang membuat kelompok minoritas semakin terpinggirkan atau terkucilkan.

Di Indonesia, contoh minoritisasi terjadi pada komunitas Tolotang di Sulawsi Selatan, kelompok Parmalin di Medan-Sumatera Utara, Komunitas Tengger di Jawa Timur, ataupun Komunitas Ahmadiyah di Ciparay-Jawa Barat.

"Kelompok-kelompok itu sangat jelas memperlihatkan perjuangannya dalam mempertahankan identitas keagamaan mereka. Dimana hal itu terancam oleh berbagai kekuatan di luar mereka," kata peneliti Lembaga Penelitian Ilmu Indonesia (LIPI) Thung Ju Lan.

Meski demikian, Daniel menegaskan bahwa ada perbedaan antara minoritas Islam di Belanda dengan minoritas Tengger di Jawa Timur, misalnya. Kelompok Islam di Belanda menganut ajaran agama samawi atau ajaran islam berdasarkan al-kitab. Sedang di Indonesia, kelompok Ahmadiayah, meskipun Islam tapi tak diakui.

"Ahmadiyah memang satu kitab dan satu kepercayaan dengan Islam, tapi orang Islam di Indonesia menganggap mereka don't belong to us (bukan bagian dari kami)," kata Daniel yang juga anggota dewan Yayasan Aksara. Maka itu, ada anggapan bahwa kelompok ini harus dikucilkan, diusir, dan dengan itu berarti seluruh republik ini telah membangun kamp pertahanan untuk kelompok minoritas Ahmadiyah dan yang lainnya. "Sedramatis itulah pemisahan total yang terjadi di negara kita, pemisaha itu terjadi secara sosial, ekonomi, dan hukum," ujarnya.

Keuntungan yang diperoleh minoritas Islam di Belanda dan Eropa adalah dukungan dari dunia internasional. Dan dukungan itu, tambah Daniel, sangat terlihat saat ada kasus pelarangan buku pelajaran agama di Norwegia.

Sayangnya, dukungan seperti itu tak didapatkan oleh kelompok-kelompok agama minoritas yang ada di Indonesia. Dalam buku berjudul Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara-Bangsa, yang merupakan hasil penelitian Yayasan Interseksi terhadapa kelompok-kelompok minoritas Indonesia, digambarkan bahwa tak ada kontak yang terjadi dengan dunia luar.

"Jadi kaum minoritas di Indonesia benar-benar excluded community (komunitas terbuang). Baik itu Tengger ataupun Ahmadiyah menginginkan adanya pengakuan, padahal mereka ada di luar pengakuan itu," kata Daniel.

Buku tersebut juga menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru (Orba) berusaha secara sistematis menaklukkan Tengger, Parmalin, dan komunitas lainnya. Pemerintah Orba menekankan pada kelompok minoritas ini bahwa kepercayaan mereka tidak masuk ke agama apapun dan tidak dilindungi oleh departemen agama.

Lalu, bagaimana cara agar kelompok minoritas mendapatkan hak-haknya?

Kata Daniel, awalnya harus jelas dulu perbedaan antara pluralitas dan pluralisme. Berbicara tentang pluralitas berarti berbicara tentang 300 suku dan 350 bahasa yang ada di Indonesia. Jika semuanya memiliki kepercayaan tersendiri, berarti akan ada sekitar 300 agam. "Lalu, mengapa harus menjadi lima? Atau tujuh pada masa sekarang ini. Kenapa sedari awal tidak diberikan hak memeluk kepercayaan mereka sendiri?" ujar Daniel.

Sedangkan pluralisme berkaitan adengan keputusan politik. "Baik negara ataupun warga dan penduduknya harus memperlakukan mereka sebagai warga negara Indonesia," kata Daniel. Jangan pernah melihat mereka sebagai orang asing. Kalau ada penahanan terhadap Ahmadiyah atau Parmalin, berarti fungsi polisi dan lembaga lainnya tak berjalan. "Plurality is a fact, but pluralism is political decision (pluralitas adalah fakta, tapi pluralisme adalah kebijakan politik)," ujarnya.

Senada dengan Daniel, Ju Lan menambahkan bahwa untuk mengatasi hak minoritas harus berangkat dari kepedulian pemegang kekuasaan negara. "Jangan lupa juga bahwa tak ada yang absolut di dunia ini karena selalu ada perubahan. Intinya, jika ada sautu kelompok yang menyatakan bahwa keberannyalah yang absolut, berarti dia salah. Dan negara harus membuat agar dia menyadari itu," kata Ju Lan. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 11 September 2007.

HAM dan KTP

Sambil mengangkat sebuah buku, seorang lelaki berteriak pada semua orang yang adadi ruangan. "Saya sangat kagum dengan lelaki yang ada di buku ini," kata pengamat politik Daniel Dhakidae.

Buku yang dipegang Daniel berjudul Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara-Bangsa, yang merupakan hasil penelitian Yayasan Interseksi terhadap kelompok-kelompok minoritas Indonesia. Pada sebuah halaman buku itu, terdapat foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) seorang lelaki dimana agama yang tercantum adalah Parmalin.

"Lelaki dalam KTP ini punya harga diri untuk mengakui agamanya," kata Daniel. Pasalnya, KTP itu dibuat pada tahun 1989, saat rezim Seoharto sedang kencang-kencangnya menjaga doktrin agama yang ada. "Tapi herannya KTP ini bisa lolos juga."

Menurut Rozi dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), harusnya KTP yang ada di Indonesia tak menyantumkan agama ataupun suku bangsa. Bagaimana pun, semuanya adalah orang Indonesia, dengan penyantuman indentitas ini, maka masyarakat akan terpecah-belah seperti sekarang.

Menurut Daniel, hal itu sebenarnya tidak perlu. Memang, sudah banyak negara yang meniadakan identitas agama atau suku bangsa dalam KTP mereka. Namun, hal itu baru perlu dilakukan jika seseorang mendapat perlakuan yang tak adil karena identitasnya itu.

Sementara itu, Tantan, moderator diskusi, mengatakan bahwa hak minoritas adalah hak keseharian seseorang. Terkadang, kita pasti akan bertukar peran. "Sebagai minoritas kita lebih banyak bicara hak dan jika kita sebagai mayoritas, maka akan banyak berbicara kewajiban," katanya.

Membincang hak minoritas, menarik juga mendengar apa kata anggota Komnas Ham M.M.Bilah, yang salah seorang peserta diskusi buku tersebut. Menurutnya, selama ini hak minoritas selalu dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM). Padahal, dalam HAM tak ada hak mayoritas dan minoritas.

"Hak minoritas ditonjolkan karena mereka selalu ditindas. Lihat saja etnis Tionghoa, mereka kan minoritas dalam arti jumlah. Tapi secara modal mereka mayoritas," kata Bilah.

Minoritas pada praktiknya selalu dipinggirkan oleh kelompok mayoritas, baik secara ekonomi, sosial, dan agama. Hak-hak minoritas ditonjolkan karena ada perlakuan yang tidak sesuai. Kalau secara normatif, di hadapan hukum semuanya sama.

Selama ini, katanya, Indonesia sudah mendomestikkan perjanjian HAM menjadi sebuah hukum. "Namun, dari segi esensinya belum dilakukan sama sekali. Harusnya, semua undang-undang yang berlawanan dengan HAM tak ada lagi, seperti pengerucutan agama menjadi lima. Tapi selama ini itu belum dilakukan," ujarnya.

Menurut koordinator Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta Indriaswati Dyah Saptaningrum, HAM adalah proses yang belum selesai dan harus memberi ruang agar dapat dijustifikasi secara lokal.

“Bagaimana pun, hukum objektif harus mengusung kepastian hukum untuk semua. One size fits all. Jika tidak, maka itulah yang akan melanggengkan praktik mayoritas dan minoritas,” katanya. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa, 11 September 2007.

Tak Perlu Khawatir Kalau Negara Lain Punya Batik

Teknologi pembuatan tempe yang dipatenkan Jepang membuat Indonesia khawatir tentang batik. Jangan-jangan produk budaya lain yang dihasilkan bangsa ini juga akan dipatenkan negara lain.

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Masyarakat Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Indonesia atau Indonesian Intellectual Property Society (IIPS), sebelum berbicara tentang hak intelektual, masyarakat harus tahu dulu perbedaan hak paten, hak merek, dan hak cipta.

Hak paten adalah bidang HaKI yang berbicara tentang teknologi. Jika ada yang menyiptakan teknologi yang bisa memecahkan masalah, maka perlindungannya masuk ke hak paten. Kalau barang, maka akan masuk ke hak merek. Sedang untuk ilmu pengetahuan, seni, dan sastra tergolong hak cipta.

"Harusnya masyarakat kita memahami dulu bahwa isu batik adalah hak cipta, bukan hakpaten," kata Henry pada Jurnal Nasional.

Mengapa? Karena untuk hak paten, tentu berkaitan dengan teknologi yang digunakan dalam membuat batik. Sayangnya, teknik membatik juga ada di Suriname, Filipina, Srilanka, Malaysia.

Bagaimana kalau mau mematenkan teknik membatik? Syaratnya, teknologi yang digunakan harus baru dan belum dikenal oleh masyarakat. Karena teknolgi ini sudah menyebar luas, maka susah membuktikan siapa yang lebih dulu menemunkannya.

Yang jelas, meski Malaysia membuat hak cipta atas batik, tidak berarti kita tak bisa produksi batik lagi. Hal ini berbeda dengan proses fermentasi yang dipatenkan Jepang. "Sama halnya dengan orang Eropa yang tak harus khawatir jika ada orang Indonesia yang mau membuat burger tempe atau burger sate," jelas Henry yang juga Kepala Biro Kehakiman dan Hukum Sekretariat Wakil Presiden.

Jadi, jika berbicara tentang batik adalah hak cipta. Adapun seni yang terkandung pastilah motif atau gambar.

Lebih jauh lagi, hak cipta ini memiliki batas waktu perlindungannya, yaitu 50 tahun setelah si pencipta meninggal dunia. Namun, batik yang sudah muncul sejak zaman nenek moyang, seperti batik pawung, parang rusak, sidomukti, adalah motif yang dulunya dilindungi hak cipta.

"Hanya saja, penciptanya sudah meninggal dan masanya sudah lebih dari 50 tahun. Maka motif itu sudah menjadi milik umum dan tak lagi dilindungi di Indonesia."

Bagaimana dengan karya yang dilindungi hak cipta? Motif-motif baru seperti daun dan binatang, daun dan awan, atau daun dan burung adalah kreasi motif baru. Seperti juga gambar obejk lainnya, motif ini juga dapat perlindungan begitu selesai diciptakan. "Dan tak perlu didaftarkan di kantor manapun. Jika ada pihak yang merasa karyanya dicontoh, cukup membuktikan dari alat bukti yang ada saja."

Sebagai contoh, jjika seorang pencipta motif batik meninggal pada usia 70 tahun pada tahun 2007, maka hak cipta habis pada tahun 2057.

Lalu mengapa repor-repot mendatangi Unesco? "Hal ini perlu diluruskan," tegas Henry. "Yang akan dimintai hak cipta internasionalnya hanyalah motif batik tradisional, seperti kawung, parang rusak, sidomukti, sidomulyo, dan garudo. Hanya motif-motif yang diciptakan nenek moyang kita."

Tak ditampik kemiripan pasti terjadi. "Kan di Suriname dan Malaysia juga banyak migran asal Indonesia. Jika ada dua orang pembatik asal Jawa pindah ke Medan dan Makassar, misalanya, jika akhirnya mereka mengembangkan motif yang mirip tentunya sangat manusiawi."

Jadi, tak usah khawatir atas merebaknya batik di berbagai negara. Dengan adanya festival batik internasional, hal tersebut menunjukkan bahwa batik sebagai proses adalah teknik yang banyak dikuasasi masyarakat. Tapi, motifnya tetap dilindungi sepanjang masih baru. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 6 September 2007.

Bukan Batik, tapi Motifnya yang Dipatenkan

Jakarta | Jurnal Nasional

Pekan Batik Internasional yang berlangsung hingga 5 September kemarin di Pekalongan, Jawa Tengah diikuti 1.200 peserta dan empat negara lain yakni Malaysia, Singapura, Afrika Selatan dan Laos. Dalam kesempatan itu pula, Wakil Predisen M Jusuf Kalla membantah jika batik telah dipatenkan Malaysia.

Bagaimanapun, batik sudah menjadi kekayaan warisan budaya (heritage) bangsa Indonesia yang diwariskan nenek moyang secara turun menurun. "Yang begini (batik) tak ada hak patennya. Siapa bilang Malaysia punya patennya. Dan Batik Malaysia itu sangat beda sekali motifnya dengan batik Indonesia," kata Kalla saat membuka acara tersebut, Sabtu, (1/9) September.

Sebenarnya, sudah ada motif-motif batik yang dipatenkan. Menurut Sekretaris Rumah Pesona Kain Ade Trisnaraga, yang bisa dipatenkan bukan senin membatiknya, tapi motif kain. Mengapa? Karena batik sebenarnya tak hanya ada di Indonesia, tapi juga di negara lain seperti Malaysia dan Maroko.

"Sekarang batik ada di mana-mana. Sebenarnya asal batik ini dari India. Dibawa oleh pedaganga India jaman dulu dan ternyata berkembang di Jawa," kata Ade. Meski sudah mendunia, tapi asal batik dapat dibedakan dari motif dan desainnya. "Kalau motif Malaysia biasanya bunga-bunga besar."

Saat ini, kata Ade, para pengrajin batik dan pemerintah sedang mengusulkan beberapa motif batik untuk dipatenkan. Sudah ada tim yang sedang mengumpulkan motif-motif kain untuk dipilih dan diusulkan pematenannya. Tak tanggung-tanggung, desainer kondang Iwan Tirta dan Arkeolog Edi Sedyawti pun turut serta.

Bagaimanapun, motif batik Indonesia sangat beragam, sesuai dengan karakteristik daerahnya. Sebut saja batik pesisir, Yogyakarta, Lasem, Cirebon, kawung, sidoluhur, dan parang rusak. Tak hanya beda di motif, goresan pengrajin yang satu dan pengrajin yang lain pun pasti berbeda.

Nantinya, jika motif itu sudah terkumpul, maka akan diajukan ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Menurutnya, sudah ada pertemuan dengan duta besar UNESCO tentang hal ini. Kemungkinan besar batik akan dimasukkan dalam kategori intangible culture heritage (warisan budaya yang tidak bisa diraba).

Adapun untuk persyaratannya, menurut Ade, ia belum tahu pasti. "Mungkin setelah UNESCO memberikan formulir untuk diisi baru kita tahu. Yang pasti hanya motifnya saja yang bisa dipatenkan."

Sementara itu, Iwan Tirta beberapa waktu lalu mengaku prihatin karena batik khas Jatim di berbagai daerah sekarang sudah punah. Sebelum perang kemerdekaan, batik-batik produksi Jatim banyak yang bagus, tapi sekarang tak ada lagi.

"Idealismenya sudah tidak ada lagi, karena yang dikejar hanya uang. Maka dibuatlah batik-batik cap atau printing. Selain itu di Jatim ini ada kain songket produksi Gresik yang lebih bagus dari buatan Palembang dan digunakan di Kraton Solo, tapi sekarang tidak ada lagi," katanya.

Iwan yang juga kolektor batik ini mengakui bahwa batik tengah berada di jalan buntu. Menurutnya, pembuatan batik dengan cara-cara lama sudah jarang ditemukan. "Pemakaiannya pun makin berkurang," ujar Iwan. "Padahal kain adat harusnya dibuat menurut cara-cara tradisional atau dengan tangan. Memakai alat tenun tradisional dan diberi warna dan ragam hias tradisional."

Inilah yang memprihatinkan. Melihat masa depan yang suram ini, maka perlu pemikiran untuk mencari arahan baru bagi kain atau tekstil tradisional Indonesia agar tidak tenggelam dalam banjir kehidupan modern yang makin miskin akan apresiasi tradisi kain adat. (Ika Karlina Idris)

Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 6 September 2007.

IPB="Institut Pleksibel Banget"

Pada situs forum komunikasi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), ada sebuah dialog tentang kepanjangan IPB. Selama ini, kepanjangan IPB selalu dipelesetkan menjadi Institut Publisistik Bogor atau Institut Perbankan Bogor. Gara-garanya, sebagian besar lulusan mereka sukses berkarier di bank atau media massa.

Sebenarnya, di dunia perbankan IPB diuntungkan oleh pembangunan Orde Baru. Kala itu, semua hal berbau pertanian dan ekonomi pertanian adalah disiplin ilmu yang "lupa" diantisipasi oleh Fakultas Ekonomi. Salah satu bank yang berperan dalam pertanian adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan akhirnya banyak mengambil lulusan IPB.

Selain di perbankan, lulusan IPB juga sukses di bidang ekonomi seperti Didik Rachbini, Iman Sugema, dan kawan-kawan mereka di Indef (Institute for Development of Economics and Finance Indonesia), Tubagus Feri dari CSIS (Center for Strategic and International Studies), pakar pemasaran semisal Handito (MarkPlus) dan Asto Subroto (MARS). Baru saja IPB membuka Fakultas Ekonomi dan Manajemen, yang tentunya jauh dari pertanian. Akhirnya, IPB pun sering dijuluki dengan Institut Pleksibel (Fleksibel) Banget.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah minat pelajar terhadap dunia pertanian menurun? Ataukah memang tak ada lapangan kerja yang menampung mereka selepas kuliah?

Akhir Agustus lalu, Perwakilan Mahasiswa Pertanian Indonesia mengeluh ke Presiden SBY. Mereka bilang bahwa minat masyarakat khususnya generasi muda untuk menekuni sektor pertanian sangat berkurang. Hal itu terlihat dari menurunnya jumlah mahasiswa Fakultas Pertanian di sejumlah Universitas secara drastis.

Akibatnya, sejumlah kampus terpaksa menutup Fakultas Pertanian mereka. Sebut saja Universitras Mercu Buana Jakarta, Universitas Borobudur Jakarta, dan Universitas Islam `45 Bekasi. Menurut perwakilan dari Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (Popmasepi), Alqudsi Angelina Adam, akan ada beberapa universitas lagi yang menyusul.

"Kalau boleh ditanya kepada adik-adik kita di SMP dan SMA, apakah ada yang tertarik ke sana (Fakultas Pertanian), saya kira tidak," katanya.

Yang jelas, Rektor IPB Ahmad Ansori Mattjik menampik hal itu. Dalam pidato menyambut dies natalis ke-44 IPB, Sabtu (1/9), ia mengatakan bahwa minat siswa dalam dunia pertanian meningkat. Utamanya pada tahun ajaran baru 2007-2008 di IPB.

Peminat Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) meningkat 12,6 persen dibanding tahun lalu. Jumlah siswa yang mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) meningkat 24,9 persen, peminat Beasiswa Utusan Daerah (BUD) meningkat 260 persen, peminat diploma meningkat 22,5 persen, dan peminat Sekolah Pascasarjana meningkat 25,6 persen. Total mahasiswa baru program sarjana tahun ini adalah 3124 mahasiswa atau meningkat sekitar 10 persen dari tahun lalu.

Kalau memang minat siswa meningkat, mengapa banyak lulusan IPB tak bekerja di dunia pertanian?

Rupa-rupanya, mahasiswa IPB dibekali kemampuan nalar yang tinggi sehingga mampu beradaptasi di berbagai bidang. Dan itu dilakukan pada satu tahun pertama masa kuliah mereka yang disebut dengan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) .

Menurut Kepala Humas IPB Agus Lelana, selama setahun itulah sekitar 3000 mahasiswa diasramakan bersama. Pada masa itu, mahasiwa diberikan semua disiplin ilmu dasar.

"Sehingga mereka mendapat kompetensi umum dan jadi bisa adaptasi dengan semua situasi. Mulai dari kimia, fisika, biologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sosiologi, ekonomi, hingga kewirausahaan. Jadi, meski mahasiswa datang dari latar belakang IPA, misalnya, tapi dia juga bisa mendapat pengetahuan IPS," kata Agus pada Jurnal Nasional.

Selain itu, masa TPB juga digunakan untuk memaksimalkan kemampuan akademik dan adaptasi multibudaya. Dalam bidang akademik, siswa akan dibagi dalam kelompok kecil dan dibimbing oleh seorang mahasiswa senior.

"Mereka dibantu untuk memahami pelajaran, pengulangan materi, bahkan ada kelas-kelas khusus agar DO (drop out) bisa ditekan," katanya. Lalu, karena mahasiswa IPB datang dari 2.000 SMA yang ada di Indonesia, maka diharapkan mereka dapat belajar berkomunikasi lintas kultural. "Di sinilah mereka membangun jejaring pertemanan."

Yang menjadi nilai tambah, selama masa TPB mahasiswa harus membuat laporan kegiatan yang sifatnya kuantitatif. "Mahasiswa sudah terbiasa membuat laporan berdasarkan data, jadi kalau mereka nanti bekerja di media massa rasanya sudah siap sekali," tutur Agus.

Tak salah rasanya jika Ahmad mengibaratkan mahasiswanya sebagai benih unggul. Rektor yang akan habis masa jabatannya itu mengatakan bahwa mahasiswa IPB akan berkembang di tanah apa pun. "Tuggulah tiga bulan. Jika ia ditanam jadi guru maka akan jadi guru yang baik, kalau jadi reporter pastilah reporter yang baik."

Lulusan IPB, memang, "pleksibel" banget.

Luas Lahannya, Luas Definisinya

Seorang kawan, yang kini redaktur sebuah harian nasional, pernah mengeluh tentang IPB, almamaternya. Dulu, saat baru lulus, ia ingin sekali meniti karier di dunia pertanian. Harapannya pupus karena tak ada modal.

"Berapa banyak sih daya tampung Deptan (Departemen Pertanian) dan PTPN (PT Perkebunan Nusantara)? Kalau dibanding lulusan IPB pasti tak seberapa. Waktu itu mau agrobisnis tak ada modal. Kampus juga tak mewadahi," kata kawan itu, mengeluh.

Dengan berapi-api, ia menyuruh saya mendatangi salah satu supermarket terbesar di Jakarta. "Coba lihat durian atau buah-buahan lain yang dijual di sana. Pasti semuanya impor. Mana ada yang produk dalam negeri! Apalagi yang ditanam anak IPB!"

Apa yang dikatakan kawan itu bisa jadi benar, bisa juga tidak. Yang jelas, bank pun tak mau banyak-banyak ambil risiko berinvestasi di dunia pertanian. Hal ini diakui juga oleh Kepala Humas IPB Agus Lelana. "Pertanian kan urusannya mahluk hidup. Kalau dia hidup ya untung, kalau mati ya tidak ada sama sekali."

Yang pasti, saat ini IPB sudah melakukan berbagai upaya agar perbankan mau menyalurkan kreditnya. Tak hanya memilih komoditas yang akan dikembangkan tapi juga dengan memberikan pendampingan. Bahkan, sejak 1993 di IPB telah didirikan Pusat Inkubator Agribisnis.

Selain itu, kata Agus, sebenarnya kampus sudah merancang agar mahasiswa menjadi job creator (pembuat lapangan kerja). Menurutnya, program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) mengundang siswa dari seluruh Indonesia. Hal ini agar mereka dapat kembali ke daerah masing-masing dan berkembang di sana.

Lalu, setiap tahun, kampus juga bekerja sama dengan sekitar 200 perusahaan untuk menyalukan mahasiswanya. "Ada berbagai macam perusahaan. Tak hanya bank, kontraktor, ataupun pertanian juga ada," ujar Agus.

Untuk itu pula, maka sejak 2000 lalu IPB pun mendefinisikan kembali kata pertanian sehingga menjadi lebih luas. Pertanian mereka anggap sebagai usaha terus-menerus dalam pemanfaatan sumber daya hayati agar dapat dimanfaatkan masyarakat. Ada sembilan fakultas, di antaranya ekonomi dan manajemen, ekologi manusia, dan komunikasi pembangunan.
"Redefinisi ini untuk mengantisipasi era globalisasi dan sesuai dengan visi IPB. Kami ingin mengembangkan manusia dengan kompetensi mereka. Lulusan IPB harus bisa memberdayakan sumber daya yang ada di alam."
Ika Karlina Idris, dimuat di Jurnal Nasional,
Rabu, 05 Sep 2007