Monday, March 19, 2007



Para Prajurit Berbaju Pelaut dari Bulan


Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!

Kemarin saya ke toko DVD (bajakan). Sebenarnya, saya mau mencari film-film komedi romantis atau drama.


Karena sebagian besar sudah saya tonton, akhirnya saya melihat-lihat jenis film yang lain. Iseng-iseng, saya melihat DVD animasi. Dan disitulah mereka, para prajurit berbaju pelaut dari bulan a.k.a Sailormoon.

Usagi, Amy, Rei, Luna, Artemis, dan Tuxedo Bertoopeng. Saya melihat DVD film Sailormoon dan rasanya saya kangen sekali. Tanpa perlu lama-lama berpikir, saya membeli DVD itu.
Sampai di rumah, saya menontonnya sampai habis. Ah, sudah lama sekali rasanya.

Dulu, sekitar kelas 4-6 SD, Usagi dan teman-temannya mewarnai kehidupan saya. Bahkan, saya punya geng yang terdiri dari lima orang dan masing-masing kami mewakili satu prajurit.

Hmm...Dulu, saya adalah Sailor Mercury, Ami Mizuno, si rok biru, rambut pendek, serius, dan pintar (tidak seperti Usagi yang bodoh dan ceroboh).

Asal kamu tahu saja, saya mengoleksi komik dan kartu/stiker dengan gambar-gambar mereka. Bahkan, saya selalu berharap bisa punya pacar seperti Tuxedo Bertopeng. Ganteng bukan kepalang, pintar, pendiam, cool, jago bertempur, dan dengan mawar merah yang selalu siap sedia.

(Sayang sekali Tuxedo Bertopeng hanya tokoh dalam sebuah komik)

Ngomong-ngomong, rasanya saya masih ingat lirik lagu film Sailormoon.

Maaf kutak pernah berterus terang
Kutakut tak mempercayaimu
Namun sebelum ku berganti rupa
Ingin aku menemuimu
Dengan bermandi cahaya bulan
Yang cemerlang di malam yang gelap
Memang telah lama aku rasakan ingin menolong yang lemah


Tiba-tiba keajaiban terjadi, kekuatan muncul di diri

Untung melawan s’mua kejahatan, kekuatanku harus digunakan
Menegakkan segala kebenaran, ini keajaiban alam
Aku mempercayainya
Ini keajaiban alam!
Dunia Seakan Menyempit

Bajuku dulu, tak begini
Tapi kini tak cukup lagi
Kupintar, kubesar, tambah tinggi...

Bagaimana kalau tambah gendut?
Hal itulah yang sedang saya alami.

November 2005, waktu baru saja lulus kuliah, berat badan saya 45 kilogram. Sebulan menganggur, lalu menjadi 47 kilogram.
Setelah bekerja, berat saya naik hingga 50 kilogram.
Saat ini, berat saya 55 kilogram dengan tinggi badan yang segitu-gitu aja, 148 senti meter.

(Tapi, kalau harus mengisi kolom tinggi badan di suatu formulir, saya biasanya menulis 150 senti meter! Hehehe...)

Ada beberapa penyebab berat badan saya terus naik. Sebulan lalu, saya sakit typus dan gejala demam berdarah. Meski bosan setengah mati, tapi saya harus istirahat total sekitar dua minggu.

Istirahat total itu artinya tidur sepanjang hari, makan, nonton TV, dan makan, dan tidur, dan makan, dan tidur...
Baru 10 hari, saya sudah kembali bekerja. Dan selama 10 hari itulah berat badan saya bertambah tiga kilo.

Penyebab kedua saya tambah gendut adalah karena punya pacar. Bisa jadi karena pacar saya gendut, mungkin juga karena saya bahagia, atau mungkin karena kami sering makan di luar.

Penyebab ketiga karena saya sedang kuliah S2 dengan mengambil kelas eksekutif. Untuk program ini, biaya kuliahnya lebih mahal dari kelas reguler. Sebagai gantinya, mahasiswa kelas eksekutif disediakan makan malam.

Hidangan prasmanan yang terdiri dari nasi, satu jenis sayur sop, tiga jenis lauk, dua-tiga jenis kue basah, buah, kerupuk, sambel, dan aneka minuman, seperti teh, kopi, jahe, atau es buah.

Makanan prasmanan ini adalah godaan terbesar untuk “diet tanpa makan malam” saya. Betapa tidak, hampir semua lauk yang disediakan rasanya enak. Padahal, kateringnya berganti-ganti tiap tiga bulan!

Penyebab keempat adalah waktu bekerja. Sejak pagi hingga siang, biasanya saya di lapangan. Mau tak mau, makan siang bukan prioritas dan kadang dilakukan terburu-buru, makan di warung terdekat, atau diundur hingga sore.

Sore, saya harus mengetik hasil liputan. Kamu tahu kan, mengetik itu berarti berpikir dan berpikir membutuhkan lebih banyak kalori daripada melakukan kegiatan fisik. Artinya, selepas mengetik (dan pasti malam hari), saya membutuhkan kalori dan dapat menikmatinya dengan lebih santai.

(Itu juga kenapa saya paling susah “diet tanpa makan malam”)

Penyebab kelima adalah mobil saya. Hampir setahun saya menyetir mobil ke tempat kerja, liputan, atau ke mana saja sejauh saya bisa. Dulu, saya naik bus ke mana-mana. Dulu, saya masih jalan ke halte bus, berlari-lari kecil mengejar bus, atau harus jalan ke tempat tujuan karena tidak dilewati bus.

Saya pernah sengaja tidak bawa mobil dan saya ngos-ngosan hanya karena berjalan dari depan gerbang kantor pusat PLN ke lobby. Hanya sekitar 25 meter dan saya ngos-ngosan seperti nenek-nenek!

Dan akhirnya, inilah saya..
Ukuran baju L (sebelumnya S atau M)
Ukuran celana 29 (sebelumnya 27)
Dan niat yang sangat besar untuk berdiet.
Doakan saya Yaaaaaaaaaaaa!!!

Semangat!

Ps: Sementara mengetik ini, saya sudah makan setoples rempeyek kacang, dua pisang coklat, dan satu kue pukis keju.

(Ya? Apa mah? Makan malam? Iya bentar, aku matiin laptop dulu!)

Sunday, March 18, 2007


Aku rindu menginjak pasir pantai, tidur di atas dermaga, tersedak air asin, dan makan ikan sepuasnya.

Mau kau ajak aku ke sana?


Krisis Percaya Diri

Akhir-akhir ini, ada dua orang dekat saya yang sedang krisis percaya diri. Masing-masing dengan alasan yang berbeda. Akibatnya, saya harus berulang-uang meyakinkan mereka.

“Nggak kok rambut lo bagus dan lo udah nggak gendut”
“Mungkin kamu melebihi kualifikasi mereka. Udah, nanti juga ada kerjaan yang lebih baik”

Jujur saja, kadang saya bosan memotivasi mereka. Sebenarnya sih, saya juga sering tidak percaya diri. Tapi, krisis terhebat sudah saya lewati. Kalau tidak lupa ingat, waktu itu saya berumur 17 tahun.

Untung saja, saya membaca sebuah pengantar dalam buku sup ayam tentang psikologi remaja. Kalimat-kalimat itu juga saya tulis dan saya kirimkan seseorang yang sangat spesial (waktu itu).

Lalu, dibalasnya dengan surat cinta, yang tentu saja tak kalah indahnya. Dia meminta saya untuk mengajarinya menggunakan hidup dan membahagiakan orang lain, dengan cara-cara teristimewa untuk mereka.

Inilah kalimat yang saya baca di pengantar buku sup ayam itu:

Hidup ini bukan tentang mengumpukan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang meneleponmu dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu atau orang yang belum kamu pacari.

Bukan tentang siapa yang telah kamu cium, olahraga apa yang kamu mainkan, atau gadis mana yang menyukaimu.

Bukan tentang sepatumu atau rambutmu atau warna kulitmu atau tempat tinggalmu atau sekolahmu. Bahkan, juga bukan tentang nlai-nilai ujianmu, uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu.

Hidup ini bukan tentang apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri, dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak diterima oleh lingkunganmu. Hidup adalah bukan tentang itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kau cintai dan yang kau sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu tentang dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas kasih.

Hidup adalah tentang menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tak peduli, dan membina kepercayaan. Tentang apa yang kau katakan dan yang kau maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya.

Dan yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tidak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah tentang pilihan-pilihan itu.

Cheers!

Ps: Hai kamu yang di sana, kapan balik ke Jakarta?


You Belong to Me


See the pyramid along the nile
Watch the sunrise from the tropical isle
Just remember darling all the while, you belong to me

See the market place and all engine
Send me photograph and souvenir
Just remember when our dreams appear
You belong to me

I'll be so alone without you
Maybe you'll be lonsome too

Fly the ocean in a silver plate
See the jungle when it wet with rain
Just remember till you home again
You belong to me
Seberapa Jauh Kamu Harus Berusaha?

Semalam, seorang teman saya menelepon sambil menangis sesenggukan. Rupanya, dia habis berantem dengan pacarnya.

Penyebab awalnya sepele, hanya karena si pacar tak mau diajak berfoto di fotobox.

“Aku tanya ke dia, kenapa kamu nggak mau fotobox?,” kata teman saya, masih sambil sesenggukan.

Jawab pacarnya (versi teman saya) “Nggak ah, ntar aja.”

“Aku tegesin lagi, jadi kamu nggak mau?,” lanjut teman saya.

“Nggak,” tegas di pacar.

Setelah itu, teman saya melengos pergi dan jadilah mereka jalan berjauhan sejak dari toko donat ke tempat parkir. Di mobil, keduanya bungkam. Hanya sesekali berbicara, itu pun kepada diri sendiri.

Rupanya, pertengkaran itu baru mulai saat keduanya tiba di rumah masing-masing. Berantem dengan mengirim argumen via pesan singkat, hanya Rp 350 sekali kirim. Bisa diedit kalau kurang sreg.

Hmm... Kayaknya boleh juga. Soalnya kalau cekcok saling berhadap-hadapan, sering ada kalimat yang tidak sempat diedit. Saya yakin kalian semua tahu bahwa sekali pesan itu disampaikan, maka tak ada yang bisa mencegah dampaknya bukan?

Jadi, kembali lagi ke teman saya. Dia bilang kalau dirinyalah yang pertama kali mengirim pesan singkat ke pacarnya.

“Sayang, memangnya kamu punya pesugihan yang bakal ilang kalau potobox ya?”

Dibalas sang pacar,”Kamu kalau kemauannya nggak dipenuhi langsung aja marah. Jangan egois dong.”

(Catat: Untuk kalian-kalian para lelaki di luar sana, tolong, jangan gunakan kata egois pada kekasih kalian. O y, jangan juga gunakan kata “mau menang sendiri”. Kamu mau tahu kenapa?
Begini, pada dasarnya, lelaki itu punya ego yang lebih besar. Sebenarnya tidak buruk. Kadang, pria itu butuh dipuji dan diakui kemampuannya. Dan, perempuan biasanya sukarela memuji pacar mereka sehingga si Ego tetap terjaga. Nah, kalau kalian bilang perempuan itu egois, dalam benak mereka pasti, ”Egois? Bisa-bisanya makhluk dengan ego super besar berkata bahwa kami lebih egois?” atau dengan kata lain “Hah? Lo nggak ngaca apa??”)

Lanjut cerita, teman saya pun kembali membalas sms dengan bunyi, “Aku itu cuma mau potobox! Kamu tinggal masuk ke box, senyam-senyum, udah! Cuma itu! Menurutmu itu egois? Menurutku itu cara kamu nyenengin pacar!”

“Kemarin kan udah. Aku nggak suka difoto,” balas si pacar.

(Hei, lelaki! Sekali kamu melontarkan kata egois pada perempuan, itu sama saja tak ada maaf. Makanya jangan heran kalau teman saya pun kembali membalas sms.)

“Ini bukan tentang suka atau tidak suka, juga bukan tentang pernah atau tidak pernah. Ini tentang seberapa ingin kamu nyenengin pacarmu, yang lagi mabuk kepayang ama kamu,” itu kata teman saya tentang isi sms nya.

Si pacar kembali membalas,”Apa yang aku lakuin selama ini nggak cukup ya? Udah aku bilang kalo aku nggak bisa menuhin semua kemauan kamu.”

Diiringin isakan tangis yang mulai pecah, teman saya kembali bercerita bahwa saat itu dirinya langsung membalas dengan dua sms.

Sms pertama: “Sayang, kamu tahu bedanya aku mau kamu belajar nyetir mobil dengan aku mau kamu fotobox? Yang pertama butuh belajar dan usaha. Yang kedua, NGGAK.”

Sms kedua: “Ngomong-ngomong, makasih untuk banyak hal yang udah kamu lakuin buat aku. Maaf nggak sempet aku hitung berapa banyak.”

Well..Wel..Well..

Analisis saya, sms terakhir teman saya pasti langsung menusuk hati, ego, dan harga diri si pacar.
Di sisi lain, sepertinya teman saya merasa bahwa si pacar tidak berkorban sebanyak yang dia pikirkan.

Yang pasti, saya menenangkan teman saya dengan berbagai kalimat standar yang dimiliki teman perempuan.

“Hah? Pacar lo kok itung-itungan banget? Sudahlah, semua pasti akan baik-baik saja. Lagipula, menurut gue, harusnya dia mau berusaha lebih buat elo, masa sih cuma fotobox doang dia nggak mau? Lo masih sayang ama cowok lo?”

“Iya sih... (Ada nada ketidakyakinan). Tapi, gue juga kan udah ngelakuin banyak. Dan NGGAK pernah gue itung! Kok dia tega sih?” Huaaaaa.... Hiks...Hiks...Hiks...,” kata teman saya (Tentu saja sambil menangis).

Saya pun lalu berkata bahwa si pacar harusnya mau berjuang untuk teman saya. Lagipula itu hanya fotobox! Teman saya kan tidak meminta dia pindah agama, pakai narkoba, atau terjun ke jurang!

Tapi, saya baru teringat kalau si pacar bilang bahwa dia tak suka difoto. Hmm... Jangan-jangan, ketidaknyamanannya sewaktu difoto sama saja dengan disuruh terjun ke jurang. Tapi, apa iya fotobox begitu menakutkan???

Cheers!

PS: Women need to be sure that you guys are fighting for them! Otherwise, she’ll find someone who fight for her. Itulah kenapa ada sayembara membunuh singa hanya untuk mempersunting seorang perempuan!

Jomblo-jomblo di Atas 30 tahun

Saya pernah menjomblo dalam waktu cukup lama. Saya tahu betul bagaimana rasanya kamu menginginkan seorang pacar dan bersedia melakukan apa saja untuknya!

Setiap kesendirian yang saya lalui sangat berharga. Kamu tahu, sinar matahari pagi tak hanya nampak indah kalau kamu punya pacar! Sinar matahari pagi juga tampak lebih indah, dan pastinya membawa harapan, kalau kamu sedang menjomblo.


Meski sering didera kecemasan, tapi ada dua hal yang membuat saya tenang, yaitu:

Ada lelaki yang diam-diam selalu menyayangi saya.
Hei, saya kan belum tua-tua amat! Jalan masih panjang kok, mah...

Nah, bagaimana kalau ternyata jalan sudah tak panjang lagi?

Saya akan bercerita tentang para jomblo yang usianya di atas 30 tahun. Mungkin, bagi beberapa orang sudah masuk usia panik.

Lelaki A, 36 tahun, dosen S3 di Leeds University, paras ganteng, incaran para reporter di kantor saya.
“Ka, sekarang kan udah nggak jaman cari pacar. Cari istri saja”
(Aduh mas! Kenapa bukan aku aja? Hehehe...)

Lelaki B, 32 tahun, jago nyanyi, kurus, paras tidak ganteng dan tidak jelek.
“Ka, aku nih nyari cewek yang diajak serius, kamu mau?”
“Aku kan punya pacar mas,” jawabku.
“Emang kamu udah serius ama pacarmu?”
“Serius,” tegasku.
“Serius pacaran atau serius buat nikah?”
“Hmm... Eh mas, ini komunikator bagus amat. Beli berapa? Aku udah lama nih pengen komunikator tapi nggak kesampean... bla...bla..bla..”
(Masalahnya, saya juga ragu harus menjawab apa)

Lelaki C, 34 tahun, kurus, item, paras jelek, pemikir, pendiam. Kalau ini, tidak tembak langsung. Awalnya, dia mengajak saya mengobrol via YM. Setelah itu, berfalsafah tentang hidup, dan sempat mengirimi puisi.

(Catat: Maaf saja buat kamu yang menganggap puisi itu picisan. Buat saya, puisi itu romantis)

Setelah itu, baru deh dia menjurus-jurus ke pertanyaan “itu”. Untungnya, sebelum benar-benar bertanya, saya keburu punya pacar dan rasanya dia tahu hal tersebut.

Lelaki D, 33 tahun, tinggi, badannya keren, paras... Hmm... Well... yang penting hatinya baik sekali. Saya sudah kenal dia sejak masih berseragam. Jujur saja, saya peduli dengannya dan segala yang terjadi dalam hidupnya. Dulu, dia tempat saya berkeluh kesah.


“Ka, gue rencananya mau dapat kerja di Freeport. Semoga dengan kerjaan ini hidup gue lebih baik. Gimana pun gue mau nabung dan punya rumah,” katanya dulu.
“Pasti dong. Gue harap juga kesempatan itu ada,” kataku.
“Iya nih.. Nah, kalau udah punya rumah, gue juga mau punya istri, biar ada tempat untuk berbagi. Lo mau gak jadi istri gue?”
“Lo serius?”
“Serius, ka!”
“Hah?? Hmm... gampang lah itu. (sambil memukul bahunya alias bahasa tubuh untuk berkata “Hei, kita ini teman kan?”) Lo kerja aja yang bener di sana.”

Jadi ya, saya tidak berniat untuk menunjukkan betapa lakunya saya. (Sumpah! Saya tak pernah merasa seperti itu). Saya hanyalah sasaran paling empuk untuk diajak nikah bagi lelaki-lelaki jomblo di atas 30 tahun!

Kenapa? Entah lah... Apa karena saya terlalu baik dan terlalu peduli ama mereka? Atau mungkin juga karena saya meniupkan angin-angin? Ah, rasanya tidak juga.

Yang jelas, lelaki-lelaki jomblo di atas 30 tahun lebih agresif dibanding perempuan-perempuan dalam kondisi yang sama. Meski sebentar lagi mendapat predikat perawan tua, kalau saya coba “jodohin”, perempuan-perempuan itu masih suka bertanya:

“Orangnya gaul gak?”
“SMA nya dulu di mana?”
“Tinggian mana ama gue?”
“Anaknya seneng diving kyk gue nggak?”
“Gajinya dua digit kyk gue nggak?”

See, ternyata perempuan jomblo lebih selektif daripada lelaki jomblo! Haha!

Cheers and Good Luck!