Wednesday, January 10, 2007




Ada satu tulisan yang lupa saya posting, masih oleh-oleh dari padang. Aslinya sih tidak seperti ini. Herannya, meski sudah membuat sesuai pesanan, kok tidak dimuat juga? Coba kamu baca dengan kritis pesan tersembunyi yang ada di dalamnya. Hehe!

Apa Iya?


Sisa-sisa hujan masih terlihat di sepanjang jalan menuju Desa Parit Malintang, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Udara saat itu dingin dan lembab.

Di sebuah tanah lapang, ratusan orang berkumpul. Bahkan, ratusan pelajar dan ibu-ibu berjejer sambil berangkulan tangan. Mereka Basah. Tak hanya rambut dan baju, tapi basah seluruh badan.

Jelas sekali hujan ikut mengguyur mereka. Untuk mendapatkan sedikit kehangatan, mereka melipat tangan di depan dada ataupun berangkulan. Meski begitu, dingin tak juga hilang.

Sekali menyapukan pandangan, terlihat bahwa mereka semua menggigil.

Akan tetapi, begitu sebuah mobil melewati jejeran orang-orang itu, udara dingin yang mereka rasakan seperti hilang begitu saja. Mereka bertepuk tangan dan melambai ke arah penumpang yang ada di mobil.

Beberapa di antara mereka yang menggunakan seragam pramuka, malah bernyanyi-nyanyi sambil bertepuk tangan ala pramuka. Mereka yang tadinya sibuk menghangatkan badan seolah lupa dengan dingin yang mereka rasakan. Sosok yang turun dari dalam mobil dengan plat nomor Indonesia 1 memukau mereka.

Setiap pandangan mengikuti langkah penumpang mobil hingga ia hilang di tengah kerumunan.

Di sebuah lapangan di Desa Parit Malintang, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Presiden Republik Indonesia datang.

Lapangan itu dipasangi tenda yang berukuran sekitar setengah lapangan bola. Sesekali air hujan yang tertampung di atas tenda, menetes dan membasahi orang-orang dibawahnya. Karpet merah yang dipasang sebagai alas lapangan juga basah.

Jika saja yang saat itu datang bukan Presiden RI , rasanya tak akan ada seorang pun yang sudi berada di tempat seperti itu dengan cuaca yang tak kalah buruknya.

Orang-orang yang datang ke lapangan tersebut tambah bersemangat sewaktu disapa dengan bahasa mereka.

“Babelok jalan ke Padang Pariaman. Habis hujan terbitlah terang,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang langusung diiringi tepuk tangan orang-orang di lapangan.

Setelah diam beberapa saat, SBY melanjutkan,”Kami datang dengan cinta dan harapan. Kemiskinan hilang, kesejahteraan datang.”

Setelah itu, hujan yang mengguyur mereka sejak 3 jam lalu seolah tak berarti.

“Saya datang ke sini memang mau lihat presiden. Saya dari pagi di sini, tapi waktu hujan saya teduh di rumah itu,” ujar Samsiar, 55 tahun, sambil menunjuk sebuah rumah yang ternyata halamannya pebuh dengan orang-orang yang punya maksud sama dengannya.

Selama ia hidup, Samsiar mengaku SBY adalah presiden pertama yang ia lihat langsung. Maklum saja, SBY memang presiden pertama yang dating ke desa itu.

“Lihat di tivi juga jarang. Saya ndak ado tivi,” ujar Samsiar yang harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk tiba ke lapangan tersebut.

Lain lagi dengan Purnamasari. Siswi kelas 3 SLTP 4 Singguling, Lubuk Aluang, Padang Pariaman itu merasa senang karena hanya 10 orang dari sekolahnya yang diminta datang ke lapangan tersebut untuk menyambut SBY.

“Yang pilih bu guru. Teman-teman yang lain boleh juga, tapi kan harus sekolah. Sedang kami yang 10 orang itu diliburkan, disuruh dating ke sini saja,” katanya polos.

Ia mengaku datang ke lapangan tersebut sejak jam 11 WIB. Akan tetapi, hujan turun sejak pukul 13.00 hingga sekitar pukul 15.00 WIB. SBY dan rombongan baru datang sekitar pukul 16.00 WIB.

“Sama kakak pembina kami tidak boleh tinggalkan lapangan,” ujar Cintia yang juga dating bersama rombongan pramuka dari sekolahnya.

Awalnya, hujan turun rintik-rintik. Tak lama, hujan semakin deras. Meski begitu, mereka tetap tak beranjak.

“Pas hujan kami nyanyi-nyanyi saja. Untung dihibur kakak pembina,” tutur Cintia sambil mengatupkan jari-jarinya di depan mulut. Sesekali ia berusaha menghangatkan mereka dengan menggegesek-gesekkannya.

Keduanya mengaku sudah diberi penganan dan air minum, walau sama sekali belum diberi makan nasi. Keduanya juga tak merasa keberatan harus diguyur hujan, kebasahan, dan menahan lapar.

“Tidak apa-apa. Saya mau lihat presiden,” kata Purnamasari.

Saat itu, SBY hanya berada di sana kurang lebih sekitar 45 menit. Ia datang untuk mencanangkan pengentasan kemiskinan berbasis nagari di Kabupetan Padang Pariaman.

Sesudah itu, ia langsung pergi. Masih ada berbagai rangkaian acara yang harus dihadirinya selama berkunjung dua hari ke Sumatera Barat. Salah satunya, menerima gelar Sasongko adat dari masyarakat Nagari Tanjung Alam, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Meski sebentar, namun ingatan tentang sosok presiden tentu tak akan hilang dari ingatan orang-orang lain yang ada di lapangan tersebut. Lalu, apa arti mereka bagi SBY? Akankah dia mengingat orang-orang yang menggigil di lapangan itu?
Kaukah itu?
Seseorang yang dulu menjadi pusat seluruh dunia saya. The apple of my eyes.
Seseorang yang dulu kutawarkan rasa yang kuyakini abadi.

Kaukah itu?
Si penggemar The Beatles.

O Bladi O Blada life goes on now..
Lalala… life goes on..
What’s on Your Mind?

Tarulah begini, kamu punya pena baru. Pena itu belum pernah kamu punyai sebelumnya. Lalu, karena penasaran, kamu mau melihat hasil tulisan dari pena itu.

Kira-kira, kata-kata apa yang akan kamu tulis?

Tebakan saya, kamu akan menulis nama kamu sendiri. Lalu, kata apa yang akan kamu tulis selanjutnya? Kata (atau kata-kata) itu bisa saja nama benda, nama peristiwa, nama orang, atau apa sajalah.

Mungkin, kalau kamu lapar, kamu akan menulis Burger atau Nasi goreng. Kalau perasaan kamu sedang kesal, mungkin kamu akan menulis BETE atau SEBEL, dengan huruf kapital.

Atau mungkin, kalau kamu sedang naksir atau sedang kangen dengan seseorang, namanyalah yang akan kamu tulis. Bahkan, bisa saja kamu menulis nama seseorang yang diam-diam kamu sukai.

Apapun kata yang kamu tulis, saya percaya bahwa kamu menulisnya bukan tanpa alasan..

Ps: Kalau-kalau kamu memutuskan untuk menulis nama saya, yang benar adalah IKA KARLINA IDRIS
Setiap Orang adalah Pahlawan dari Dirinya Sendiri

Sudah seminggu ini saya dipindah ke desk ekonomi. Utamanya, yang berhubungan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di alaman Jurnal BUMN, harus ada pelaporan mendalam tentang BUMN. Minimalnya, tiga tulisan dengan tema yang sama.

Lalu, pada suatu hari, saya disuruh meliput konfrensi pers awal tahun yang diadakan Perum pegadaian. Karena sebelumnya sudah pernah meliput konfrensi pers akhir tahun, saya pikir nanti kondisinya tak jauh berbeda.

Dan ternyata saya benar. Kedua liputan itu serupa. Ada rilis tertulis yang dibagikan ke wartawan dan Direktur Utamanya mau diwawancarai.

Sesudah itu, saya memutuskan untuk kembali ke kantor dan mengetik apa-apa saja yang sudah saya dapat di lapangan. (Sebenarnya sih, di aula ber-AC dengan hidangan Buffet yang melimpah. hehehe)

Pikir saya, ”Hari ini saya bisa pulang lebih sore, lalu bertemu pacar saya, lalu pulang ke rumah, lalu menyempatkan membaca sebelum tidur.”

Tepat saat mobil saya masuk ke halaman kantor, redaktur saya menelepon.

”Halo ika, sudah dapat apa saja?,” kata redaktur saya yang tambun.
”Ini mas, dapat bla...bla..bla...,” jawab saya sambil menyetir dengan satu tangan.
”Bagus. Bikin tulisan panjang ya,” tambah redaktur saya.

Hah?? Tulisan panjang? Memangnya bahan yang saya dapat cukup untuk 3 tulisan dengan karakter minimal 2500???

”Oke mas, nanti kita omongin di atas. Saya udah di parkiran nih,” kata saya sambil mengerem mendadak.

Sampai di atas, saya memutar otak secepat mungkin. Angle-nya apa aja ya? Sayang, redaktur saya keburu datang.

”Ka, gimana?” tanyanya.

Dan kami pun berdiskusi panjang. Hasilnya, angle berita saya tentang: program pinjaman dana tanpa agunan, perubahan status Pegadaian, dan Pendapat pakar (Hehehe... STD!)

Sore itu kawan, adalah sore terberat selama tiga bulan terakhir. Kenapa?
Karena:
1. Bahan yang saya dapatkan kurang untuk tiga tulisan.
2. Saya harus beradaptasi secepat kilat dengan istilah ekonomi.
3. Saya harus mewawancarai pakar yang sangat pintar (dan kritis) sehingga bertanya kembali setiap pertanyaan yang saya ajukan.
(Asal kamu tahu saja, saya paling sebel dengan nara sumber seperti ini. Hihih!)

Sore itu kawan, dengan segenap usaha dan kemampuan analisa yang saya miliki, akhirnya saya pun membuat tiga tulisan panjang tentang pegadaian.

Meski beberapa kali redaktur saya harus mengingatkan deadline.

”Ka, ditunggu lho tulisannya.”
”Ka, udah belum? Kalau bingung, tulis apa adanya saja, nanti saya yang tambah-tambahin.”

Well, tepat pukul 19:17 WIB tulisan saya selesai. Alih-alih, lega, saya malah merasa eneg, mual, kecapaian, dan kelaparan. Ketiga tulisan itu benar-benar menguras energi saya.

Saya pun lalu menelepon pacar saya, kami janjian makan di satu tempat, dan saya makan dengan lahap. Tidak pernah selahap ini, selama sebulan terakhir. Tak ada diet-dietan malam ini. Kalau mau tahu, saya makan sepiring nasi goreng, salad, dan segigit burger pesanan pacar saya.

Keesokan malamnya, saya bercerita tentang apa yang saya alami ke teman saya, Devi. Dan ternyata dia baru saja mengalami hal yang sama.

Devi harus menulis untuk halaman Jurnal Inspirasi. Sebelumnya, tulisan itu diisi oleh wartwan lain. Satunya sejarawan dan satunya lagi penggemar filsafat.

Yang pasti, Devi harus bertempur habis-habisan melawan ketidaktahuannya. Dia membaca banyak artikel dan menyarikan semuanya ke dalam satu tulisan. Dan, tulisan dia terpilih sebagai headline halaman edisi mingguan.

[Yey! We really did it, Dev!]

Malam itu, sehabis menulis begitu banyak, saya makan begitu banyak juga. Saya kekenyangan dan bahagia. Saya tiak tahu apa Devi juga makan banyak setelah itu, yang jelas dia juga merasa senang.

Masing-masing kami memenangkan pertempuran kami. Kami adalah pahlawan untuk diri kami sendiri. Saya yakin, kamu juga pernah menjadi pahlawan untuk diri kamu sendiri.

Cheers!

Ps: Kata teman saya Cindy, bukan happy worker, work harder. Tapi sebaliknya..

Friday, January 05, 2007

Monday, January 01, 2007

Lie, Lier, and Statistic

*Katanya, ada tiga orang yang pertama kali masuk neraka. Mereka adalah pelacur, homoseksual, dan wartawan.

Ada tiga macam kebohongan. Pertama, lie atawa bohong itu sendiri. Kedua, lier atau pembohong. Dan ketiga adalah statistik atau kebohongan dalam memanipulasi angka-angka penelitian, dengan kata lain menampilkan hasil penelitian yang tidak ilmiah.

Saya melakukan kebohongan jenis ketiga hari ini. Hanya saja, saya tidak sendiri. Media massa yang lain ramai-ramai berbohong. Atau mungkin, kalau mereka bodoh, mereka dibohongi, lalu mereka ikut menyebarkan kebohongan.

Ceritanya begini, sebuah lembaga survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil survei mereka tentang kinerja SBY-JK. Dalam rilis yang mereka sampaikan ke wartawan, dikatakan bahwa 65 persen responden mereka puas terhadap kinerja SBY-JK.

Kepuasan kinerja itu diukur dari tiga faktor, yaitu kondisi politik, keamanan nasional, dan penegakan hukum. Anehnya, responden mereka—yang berjumlah 1.227 orang di 33 provinsi—memberi nilai B untuk kemanan nasional dan C untuk dua faktor lainnya.

Pikir saya,”Kenapa masyarakat bisa berkata puas kalau nilai yang mereka berikan adalah C?”

Karena “*ditugaskan” untuk menulis tentang hasil riset itu, saya pun menelepon penelitinya dan bertanya tentang keanehan tersebut.

Anis Baswedan, nama peneliti itu, berkata bahwa kekuatan politik utama SBY adalah popularitasnya. Publik senang dengan figur SBY. Jadi, kalau ditanya tentang kondisi secara keseluruhan, mereka akan bilang bagus.

“Tapi, kalau diturunkan jadi detil mereka ternyata tidak puas. Sebagai contoh, kalau ditanya tentang kondisi ekonomi sekarang, mereka akan bilang terjadi perbaikan dan mereka optimis perbaikan ini terus terjadi.

TAPI, waktu ditanya kemampuan mencukupi kebutuhan pokok dan energi, seperti minyak tanah, mereka semua berkata bahwa beban mereka bertambah. Sembako makin mahal, minyak tanah semakin jarang. Maka itu, ada nilai C,” kata Anis.

Setelah mewawancarai Anis, lewat telepon, saya pun kembali ke meja saya. Untuk berpikir tentang angle yang akan saya gunakan di tulisan saya nantinya.

Sambil membaca rilis dari LSI, iseng-iseng saya melihat ke penjelasan tentang penelitian tersebut. Dan...Gotcha! Di situlah saya menemukan kejanganggalan-kejanggalan.

[Thanks to my lecturers. Meski sering megantuk dan bosan, sehingga kurang menangkap kuliah anda-anda, tapi sedikit-banyak adalah Metodologi Penelitian Komunikasi Terapan yang menempel di sisa-sisa otak saya.]

Kejanggalan pertama, sample yang LSI ambil ternyata tidak representatif. Dalam hal ini, berkaitan dengan tingkat pendidikan responden. Dari 1.227 responden, hanya 7,2 persen yang pendidikannya perguruan tinggi dan di atasnya. Sedangkan 52 persen responden hanya lulusan SD atau di bawahnya.

Ya ampyun! Pantas saja mereka menjawab puas. Tingkat pendidikan yang mereka tempuh tidak bisa dijadikan bekal untuk menilai kinerja seorang presiden. Dengan kata lain, lulus SD geetoo loh! Bisa baca-tulis aja udah untung!

Kejanggalan kedua, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan responden. Misalnya seperti ini:

Kemampuan SBY dalam menjaga keaman nasional anda nilai baik atau sangat baik?

Penegakan hukum yang dilakukan SBY selama ini anda nilai baik atau sangat baik?

Eits! Tunggu sebentar Tuan peneliti! Jadi pilihannya cuma baik atau sangat baik? Bagaimana dengan sangat tidak baik dan tidak baik?

Kejanggalan ketiga, masih seputar pertanyaan-pertanyaan itu. Ditanyakan tentang kemampuan SBY menjaga keamanan nasional, tapi Ke-A-Ma-Nan Na-Sio-Nal yang mana ya? Di Aceh? Poso?

Lalu, Pe-Ne-Ga-Kan Hu-Kum yang mana ya? Menjerujikan koruptor atau pencuri jemuran?

Dan, hei! Apakah lulusan SD itu mendapat cukup informasi tentang kondisi keamanan dan penegakan hukum di tanah air?

Jadi, kesimpulannya, dengan sangat mudah dan tanpa pikir-pikir saya menyatakan bahwa hasil survei itu mengandung banyak kesalahan. Alias, tidak ilmiah.

Dengan bersemangat, saya katakan hal itu ke redaktur pelaksana saya. [Oh iya, kalau-kalau kamu tidak tahu, redaktur pelaksana itu jabatannya ada di atas redaktur, tapi masih di bawah pemimpin redaksi. Setiap media massa punya struktur yang berbeda satu dan lainnya]

Dia bilang begini,”Wah bagus itu. Tapi Ika, itu untuk bahan diskusi di kampus saja. Untuk tulisan kamu, coba bikin dengan angle koran kita saja. Tentang metodologi survei ini, bisa jadi bahan diskusi kita di lain waktu.”

Hmm... Saya juga sebenarnya tidak berharap banyak.

Lalu, saya kembali ke meja saya dan mengetik 3000 karakter. Tapi, meski harus dipoles habis-habisan, kejanggalan penelitian itu tetap saya masukkan. Selain itu, saya juga masukkan pernyataan responden bahwa beban mereka bertambah, terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan energi.

Yah... Memang sih, sesuai dengan struktur penulisan berita—piramida terbalik—ketidakilmiahan penelitian itu saya taruh di bawah. Dengan kata lain, dapat dipotong kalau jumlah karakternya kelebihan. Hmm... sebenarnya sih bisa dipotong dengan alasan apapun, misalnya tidak sesuai dengan kebijakan media. Hehehe...

Yah... Paling tidak kan saya sudah mencoba. Hehehe...

Cheers!

Ps: Saya janji besok-besok akan lebih menyimak kuliah dosen, sebosan apapun materi yang dia berikan. Yakini saja bahwa akan ada gunanya suatu saat.

*
Kalau tidak lupa ingat, saya membaca tulisan itu tembok kamar kos Dimas, mantan ketua himpunan mahasiswa Jurnalistik Unpad.

[Sebenarnya sih, ini bukan hasil liputan saya. Kebetulan saja tempat dipublikasikannya hasil penelitian ini berada satu gedung dengan tempat liputan saya, Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Waktu itu, saya kebetulan lewat dan lihat ada ramai-ramai, ternyata acaranya sudah selesai. Jadi, saya cuma mengambil rilisnya dan pulang. Sampai di kantor, ternyata beberapa orang redaktur membicarakan hasil penelitian itu yang mereka lihat di Detik.com. Saya bilang ke mereka kalau saya dapat rilisnya. Dan jadilah saya yang “ditugaskan” menulis beritanya]