Wednesday, November 29, 2006

Tema Jurnal Perspektif edisi Senin, 27 November 2006 tentang kemungkinan penerapan Balanced Scorecard di lembaga pemerintah. Seluruhnya ada 14 tulisan, tapi yang saya posting hanya 5. Tanpa bermaksud merendahkan intelektulitas kamu, tulisan yang lain terlalu teoritis. Jadi tidak saya posting.

Balanced scorecard adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja suatu perusahaan. Ada empat aspek yang diukur, yaitu pertumbuhan dan pengembangan, proses bisnis, kepuasan kostumer, dan keuangan.

Sayangnya, di lembaga pemerintah kita ukuran ini belum jelas. Lalu bagaimana kalau digunakan di sana? Silahkan baca saja tulisan-tulisan saya yang membosankan ini..



Nilai untuk Naik Kelas

Jakarta-Jurnal Nasional

Dalam sebuah kelas, terlihat murid-murid tak sabar untuk menerima buku rapor mereka. Yang paling penting, mereka tak sabar ingin tahu apakah mereka naik kelas atau tidak.

“Badu, maju ke sini,” ujar Pak guru.

Badu si bintang kelas pun maju dan menerima buku rapor miliknya. Dibukanya dan dilihatnya setiap angka yang tertulis.

Naik ke kelas 6, begitu tertulis di sana. Badu juga melihat bahwa ia mendapat nilai 9 untuk pelajaran matematika, 8 untuk bahasa Indonesia, dan Badu tak memperhatikan selebihnya. Sederetan huruf C di kolom bawah membuatnya heran.

Nilai C untuk kelakuan, C untuk kebersihan, dan C untuk kerapihan.

Untuk Badu si Bintang Kelas, nilai C tak ada dalam kamusnya.

Ia pun kembali ke pak guru dan bertanya, “Pak, kenapa bapak beri nilai C untuk kebersihan saya?”

Tanpa menoleh, pak guru menjawab,”Karena kamu sering membuang sampah di kolong meja.”

“Lalu, kenapa C untuk kerapihan saya?” tanya Badu lagi.

Kali ini pak Guru mengangkat wajahnya dari tumpukan buku rapor dan berkata,”Karena kamu jarang memakai dasi.”

Dengan suara meledak-ledak, ia berkata,”Pak, apa bapak menghitung seberapa sering saya membuang sampah ke kolong meja dan seberapa jarang saya memakai dasi? Lalu, apa bapak juga menghitung hal yang sama untuk murid-murid lainnya? Jadi, kalau nilai saya C, berapa kali dalam setahun ini saya membuang sampah ke kolong meja pak?”

Pak guru pun bingung harus menjawab apa. Menurutnya, kelakuan, kebersihan, dan kerapihan cukup dilihat dan diamati saja. Memangnya perlu mengukur hal-hal tersebut dengan angka?

Pengukuran yang tidak jelas terjadi pula di lembaga-lembaga pemerintahan kita. Menurut Yono Reksoprodjo, konsultan strategi perusahaan, dalam laporan tahunan pimpinan puncak dalam suatu organisasi cukup mengatakan bahwa programnya berhasil. Tapi, tak jelas apa ukuran keberhasilan tersebut.

Atau mungkin, ada pejabat negara yang berkata di media massa bahwa ia sukses dalam memimpin jajarannya. Lagi-lagi tak ada ukuran untuk kesuksesan yang ia katakan.

Pentingnya alat ukur bagi kinerja pemerintah juga mendapat tanggapan dari Syarief Hasan, anggota Komisi XI DPR RI. Menurutnya, alat ukur yang jelas harus digunakan untuk mengukur kinerja departemen.

“Kalau presiden sudah punya alat ukurnya, semisal balanced scorecard, tentunya gampang kalau mau mengawasi menteri-menterinya. Adapun indikator keberhasilan harus ditetapkan bersama agar mereka komit dengan hal tersebut,” urai Syarief.

Menilai performa suatu lembaga negara memang tak semudah menilai hasil ujian Badu. Yang jelas, ukuran-ukurannya sudah ada. Dalam balanced scorecard, misalnya, terdapat empat prinsip dasar dalam mengukur kinerja, yaitu pertumbuhan dan pengembangan, proses bisnis, kepuasan kostumer, dan keuangan. Hanya butuh kebijakan dan pengawasan yang tegas.

Lantas, apakah ukuran ini akan digunakan? Agar jika ada yang bertanya tentang penilaian tersebut, Presiden tidak akan kebingungan. Seperti Pak guru yang bingung menjawab pertanyaan Badu. (Ika Karlina Idris)
Balanced Scorecard Mencegah Korupsi

Jakarta-Jurnal Nasional

Dalam sebuah proposal kegiatan, selain rencana pemasukan dan pengeluaran dana, selalu tercantum sasaran dan tujuan kegiatan. Anehnya, sebagian besar laporan kegiatan hanya menyantumkan laporan keuangan.

Lantas, apakah sasaran dan tujuannya tercapai? Jawaban paling mudah adalah,”Lihat saja saat acara berlangsung.”

Masalah yang paling banyak ditemui dalam laporan pertanggung jawaban adalah patokan kesuksesan atau keberhasilan yang tidak jelas.

Menurut Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, Kementerian PAN, “Harusnya kita bisa menjadikan ukuran yang tadinya kualitatif menjadi kuantitatif. Harus bisa diukur.”

Sejak awal tahun 1990, perusahaan di Amerika menggunakan ukuran dengan konsep balanced scorecard. Konsep ini diperkenalkan oleh David P Norton dan Robert Kaplan. Buku-buku mereka pun menjadi bacaan wajib bagi setiap mahasiswa manjemen ataupun akuntansi.

Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced (berimbang) dan scorecard (kartu skor). Berimbang maksudnya mengukur kinerja perusahaan tidak hanya dari keuangannya tapi juga non-keuangan. Sedang kartu skor digunakan untuk menyatat skor hasil kinerja.

Menurut Yono Reksoprodjo, seorang konsultan strategi perusahaan, ada empat unsur penting dalam Balanced Scorecard. Yang dimaksudnya adalah Proses pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis, kostumer, dan keuangan.

“Keempat hal tersebut bisa saja berbeda cara penerapan dan prosesnya, bergantung pada misi setiap perusahaan,” tegas Yono yang pernah menangani strategi perusahaan seperti Bank Mandiri, Merpati dan Telkomsel.

Balanced scorecard sebenarnya bukan hanya alat pengukuran semata, ia juga bagian dari sistem manajerial. Ia digunakan untuk membantu suatu organisasi melakukan klarifikasi terhadap visi dan kiat penterjemahannya menjadi misi.

”Yang pasti, alat ini dapat memetakan aset yang kita miliki. Bahkan, dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Ada mekanisme plan-do-check-act,” ujarnya.

Jika hal ini diterapkan di lembaga pemerintah, tentunya dapat digunakan sebagai langkah pencegahan korupsi. Apalagi jika diturunkan ke setiap departemen.

Yang harus diperhatikan adalah ukuran yang digunakan. ”Agar tidak kusut, sebaiknya jumlah indikator sekitar 16-20 saja.” Setelah terbiasa, barulah indikator itu ditambah lagi.

Pengukuran kinerja tidak hanya dengan balanced score card. Ada banyak alat ukur lain seperti baldrige scorecard, six sigma, atau ISO. Di Kementerian PAN sendiri ada yang disebut sistem AKIP. Sistem ini terdiri dari input, output, outcome, benefit, dan impact.

“Apapun alat ukur yang digunakan, tidak masalah. Asalkan semua satuan penukuran ditentukan dengan jelas,” kata Ronald. (Ika Karlina Idris)
Penghargaan dan Hukuman


Jakarta-Jurnal Nasional

Saat penerimaan rapor, murid yang menjadi juara kelas biasanya mendapat piagam penghargaan dari sekolah dan hadiah dari orang tuanya. Sementara murid yang tinggal kelas, harus merugi satu tahun dan biasanya dimarahi orang tuanya.

Selalu ada konsep penghargaan dan hukuman dalam mengukur prestasi. Begitu pun dengan kinerja seseorang. Penghargaan dan hukuman diberikan untuk memotivasi seseorang.

Sayangnya, konsep ini tidak diterapkan dengan tegas di lembaga negara kita. Bahkan, dalam pembuatan laporan pertanggung jawaban pun, hukumannya hanya sebatas pengumuman di koran.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau Akip harus dibuat oleh setiap lembaga negara dan diserahkan ke Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN). Tenggat waktunya, setiap 31 Maret.

“Kalau mereka tidak membuat laporan Akip, paling-paling hanya kami umumkan di koran saja,” kata Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, kementerian PAN.

Sedang untuk penghargaan, Kementerian PAN mengeluarkan sertifikat bagi mereka yang menyerahkan Laporan Akip tepat waktu.

“Saya rasa sertifikat ini nilai prestisenya cukup besar, apalagi untuk pemerintah daerah atau provinsi. “Meski saya akui kalau sebagian besar isi laporan Akip hanyalah formalitas saja,” ujar Ronald.

Adanya penghargaan terhadap kinerja karyawan mutlak diperlukan. Jika tidak, nantinya mereka akan terdemotivasi. Demikian menurut Yono Reksoprodjo, konsultan strategi perusahaan.

“Kalau untuk perusahaan swasta penghargaannya bisa berupa bonus. Tapi untuk pegawai negeri bagaimana? Takutnya, mereka sudah bekrja dengan giat, kinerja bagus, tapi penghasilan tetap sama dengan teman yang malas-malasan,” urai Yono yang juga pernah menjadi ketua panitia akreditasi Y2K di Badan Standarisasi Nasional.

Ronald menambahkan adanya contoh niat pemberian penghargaan. Yaitu dengan melihat Pemerintah Provinsi Gorontalo. Mereka memberkan apa yang dinamakan tunjangan kinerja hingga ke tingkat individu. Sayangnya, ukuran yang digunakan juga belum tepat.

Meski demikian, ia melihatnya sebagai pintu masuk untuk penilaian kinerja. “Yang penting terus dilakukan perbaikan. Dipikirkan ukurannya, hingga ketemu yang paling tepat.”
Sedangkan menurut Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pertahanan Marsekal Muda Koesnadi Kardi, pegawai pemerintah harus diberi motivasi untuk berprestasi secara individual. ”Harus tertanam di hati mereka untuk bekerja keras.”

Sistem award menurutnya tidak baik karena seringkali dimanipulasi. Misalnya dengan membayar sejumlah uang ke panitia. Yang paling tepat menurutnya adalah dengan memberikan kesempatan bersekolah atau promosi jabatan.

Menurut Ronald, yang paling tepat untuk instansi pemerntah adalah diterapkannya performance budgeting. Dengan kata lain, suatu lembaga tak akan memperoleh anggaran di tahun berikutnya kalau mereka tak bisa menunjukkan kinerja mereka di tahun sebelumnya.

”Tapi rasanya kita masih jauh ke arah sana,” keluhnya.

Sedang menurut Yono prinsip dasar kinerja adalah bagaiamana setiap bagian menyadari bahwa mereka sama. Semua kompetisi yang mereka lakukan ujung-ujungnya ke kepuasan pelanggan.

”Untuk lembaga negara, ujung-ujungnya tentu saja demi dan untuk masyarakat,” tegas Yono.


(Ika Karlina Idris)
Laporan-laporan yang "Tidak Penting"

Jakarta-Jurnal Nasional

Buku-buku setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia memenuhi lemari penyimpanan di sebuah ruangan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN). Saking banyaknya, lemari penyimpanan tak muat lagi. Buku-buku itu pun tertumpuk di lantai.

Buku-buku setebal kamus tersebut sebenarnya adalah laporan pertanggung jawaban dari lembaga-lebaga negara. Istilahnya, laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat Akip.

“Laporan Akip biasanya nggak hanya satu buku lho. Mereka bikin Akip tebal-tebal. Tapi kalau dilihat, banyak detil nggak penting yang ada di situ,” kata Ronald A. Annas, penilai dari Deputi Akuntabilitas, Kementerian PAN.

Yang ia maksud tidak penting adalah ukuran-ukuran yang digunakan Si pembuat laporan. Seorang pejabat, misalnya, bisa saja bilang bahwa ia ingin menyejahterakan rakyat. Setelah masa kepemimpinannya ia lalu berkata bahwa kesejahteraan meningkat 100%.

Menurut lelaki jebolan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ini, tidak ada indikator yang jelas untuk prosentase tersebut. “Sayangnya, ini sudah kebiasaan dari jaman dulu.”

Apa yang ditampilkan dalam laporan-laporan setebal kamus itu menurut Ronald belum cukup untuk melihat kinerja suatu lembaga. Sebagai contoh, sebuah lembaga menuliskan pemasukan (input) sebesar Rp.860 juta. Sedang pengeluaran (output) sebesar Rp.820 juta. Dan muncullah angka 95% sebagai ukuran keberhasilan dijalankannya program tersebut.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa selama ini kinerja lembaga negara selalu diukur dari penggunaan anggaran belanja. Habis atau tidak. Padahal, belum tentu belanja tersebut menghasilkan manfaat untuk masyarakat.

Misalnya, ada lembaga yang menganggarkan Rp.10 juta untuk membuat 10 buah buku. Jika anggaran tersebut abis dan 10 buku sudah dibuat, maka dinilai bahwa lembaga tersebut berhasil. Padahal, belum tentu buku tersebut dibutuhkan masyarakat, apalagi untuk memberi nilai tambah.

“Mereka berangkat dari tujuannya, yaitu membuat buku. Harusnya, mereka berangkat dari alasan kenapa buku tersebut harus dibuat. Mereka sudah terbiasa melakukan kerja, bukan kinerja,” kata Ronald yang tahun ini sempat ke Singapura, mengikuti pelatihan tentang Manajemen Performa untuk Sektor Publik.

Yang masih menjadi kendala hingga kini adalah kemampuan pejabat pemerintah untuk menentukan nilai ukur. Bisa jadi karena otak mereka tidak mampu, bisa juga karena karekter setiap instansi dan deerah selalu berbeda.

Adanya laporan Akip sebenarnya untuk mengukur apakah suatu lembaga pemerintah berjalan dengan efektif, efisien, dan responsif. Ukuran yang tadinya kualitatif harus bisa dijadikan kuantitatif.

Adapun ukuran kinerja yang digunakan dalam laporan tersebut adalah pemasukan, pengeluaran, outcome, keuntungandan dampak. Sesuai dengan tujuan Kemneterian PAN, yaitu reformasi birokrasi.

Pembuatan laporan ini berdasarkan Instruksi Presiden No.7 tahun 1999. Sebelumnya, tak ada sama sekali laporan seperti ini. Maklumlah, masih pemerintahan Orde Baru.

Di tahun 2002, hanya 40% lembaga negara yang membuatnya. Saat ini, jumlahnya mencapai sekitar 70-80%. Tapi menurut Ronald, “Sebagian besar membuatnya hanya untuk formalitas.” (Ika Karlina Idris)
Indonesia Krisis Kepemimpinan

Jakarta-Jurnal Nasional

Dengan suara yang tegas dan tatapan yang tajam, lelaki itu berkata,”Negara kita mengalami krisis sistem, lebih-lebih lagi krisis pemimpin.”

Krisis sistem dapat dilihat dengan jelas dalam keseharian kita. Ia mengambil contoh pengerjaan galian jalan. Karena tak ada koordinasi, satu ruas jalan seringkali digali hinga berkali-kali. Suatu waktu penggalian dilakukan untuk memasang kabel listrik. Setelah itu jalan ditutup. Waktu yang lain, digali kembali, kali ini untuk memasang kabel telepon.

”Padahal kan sama-sama saja. Sistem seperti itu cenderung hanya untuk menghabiskan anggaran. Harusnya ada koordinasi di antara para pemimpin lembaga, agar tak terjadi hal ini.” urai lelaki itu

Contoh lainnya, adalah lamanya perizinan untuk membuka usaha di Indonesia. Kalau di Singapura, pembuatan izin usaha hanya tiga minggu. Sedang di negara kita, paling cepat 6 bulan. ”Tidak hanya ribet tapi juga harus melalui banyak meja, mulai dari pengurus RT, RT, kelurahan, Departemen Pariwisata, dan Departemen Lingkungan Hidup.

Karena itulah, masalah kepemimpinan harus dapat perhatian lebih. Kita haruslah melahirkan pemimpin-pemimpin baru, salah satu caranya adalah dengan mengukur kinerja mereka.

Lelaki yang berbicara tentang krisis kepemimpinan tersebut bernama Marsekal Muda Koesnadi Kardi. Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pertahanan beberapa kali pula dirinya menghadiri konferensi perencanaan yang diadakan di Hawai, Australia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Untuk mengatasi krisis ini, terlebih lagi agar terwujudnya good government, lembaganya mengadakan kursus kepemimpinan dan menajemen. Ia ingin mengubah anggapan yang ada selama ini bahwa kursus kepemimpinan hanyalah untuk meneruskan kebijakan lama. Makanya kurus tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”kursus pengganti”.

Artinya, kursus ini hanya untuk para calon pemimpin yang mempunyai keberanian mengganti kebijakan lama yang sudah tidak relevan lagi ”Hal yang masih diperaktekkan di tempat kita adalah mengartikan loyality sebagai mengikuti keinginan atau selera atasan. Mereka pun tidak berani mengemukakan pendapat yang jujur. Akibatnya, pemikiran-pemikiran yang brilliant sekalipun, asalkan datangnya dari bawah, tidak pernah terakomodasi dengan baik.”

Karenanya, dalam kursus kepemimpinan dan menajemen dimasukkan pula tentang balanced scorecard, yaitu alat untuk mengukur kinerja suatu lembaga.

”Kalau ukurannya kualitatif, ya kita buat kuantitatif. Kalau kinerja bisa diukur, pertanyaan kenapa kantor ini bisa maju dan yang ini tidak, itu bukan dijawab pejabat. Kan tinggal lihat saja ke balanced scorecard.”

Di bagian Diklat Dephan juga dibentuk think tank yang berfungsi mendefinisikan penerapan balanced score card, tentunya yang paling sesuai dengan lembaga tersebut.

Semisal, apakah ukuran keberhasilan bagi seseorang yang dilatihdi Pusat Bahasa Dephan. ”Kita harus tahu dia fasih berbahasa Inggris sejauh apa. Misalnya untuk saat ini, orang tersebut hanya diibaratkan 'hotel bintang tiga' karena bisa bercakap-cakap. Lalu, ukuran 'bintang lima'nya apa? Ya, kalau dia sudah bisa menjadi penerjemah dari orang yang sedang berpidato.”

Sayangnya, belum ada kebijakan lebih lanjut dari Menteri Pertahanan untuk mengaplikasikan alat ukur ini. Malah, menurutnya, harus ada kebijakan dari presiden, agar diterapkan di setiap lembaga negara. (Ika Karlina Idris)

Monday, November 20, 2006

Harga untuk Bush!

Seorang teman saya akan meliput kedatangan presiden AS, George W Bush, ke Indonesia. Dan inilah harga yang harus dia bayar:

1. Kemeja batik lengan pendek (Rp.166.000)
2. Kemeja lengan panjang diskonan (Rp. 107.500)

Kantor teman saya tidak memberi informasi yang cukup untuk wartawannya. Jadi, seperti liputan kepresidenan yang sudah-sudah, wartawan laki-laki biasanya WAJIB memakai kemeja lengan panjang atau batik (lengan pendek atau panjang tidak masalah).

Awalnya saya menyarankan dia beli kemeja lengan panjang saja, tapi dia lebih memilih batik.

Ternyata, setelah bertanya ke wartawan presiden yang ada di kantor saya, untuk meliput Bush, khususnya wartawan yang diperbolehkan masuk ke ring I, harus memakai kemeja atau batik lengan panjang.

[Saya juga tidak tahu berapa jarak yang dimaksud untuk Ring I ini. Pastinya, tidak cukup dekat untuk mengetahui apakah Bush ubanan atau tidak! Haha!]

Jadi, mau tidak mau, teman saya harus membeli lagi kemeja lengan panjang. Total pengeluaran sejauh ini: Rp. 273.500!

Sehabis beli baju, dia juga harus menraktir saya:
1. Mie ayam (Rp.10.500)
2. Aqua botol (Rp.2000)
3. Bayar Parkir (Rp.2000)

Total pengeluaran sejauh ini: Rp. 288.000!

Dia juga masih harus meminjam dasi dan tape recorder. Untuk yang terakhir, sebenarnya dia punya, tapi rusak.

Untuk kedua barang tadi, dia harus membayar:
1. Ongkos bensin dari rumah dia ke rumah saya (Rp.5.000)
2. Traktir saya makan malam (Rp.13.500)
3. Traktir saya Martabak manis (Rp.18.000)

Total pengeluaran sejauh ini: Rp.324.500!

Belum lagi, dia harus bangun pagi-pagi, keliling di sekitar Bandara Halim Perdana Kusuma untuk melaporkan keadaan di sekitar situ.

Saat saya meneleponnya, dia bilang tadi baru saja makan siang di KFC, mungkin sekitar RP.20.000. Total pengeluaran sejauh inu: Rp.344.500!

Dan sampai pukul 13.32 WIB, yang ditunggu-tunggu belum juga nampak! Bahkan bayangan AF-1 juga belum kelihatan.

Bayangkan! Seorang teman saya saja bisa keluar uang RP.344.500 yang juga setara dengan 68 kilo gram cabai merah keriting atau 137 kilo gram bawang merah atau 689 cup air mineral! Atau... 14 kali makan siang di restoran Padang Sederhana!

Ck..ck..ck... kalau seorang wartawan saja bisa menghabiskan uang sebanyak itu untuk Bush, apalagi Pemerintah Daerah Bogor! Apalagi Indonesia!

Selamat datang Mr. Bush! Di Indonesia, Tamu memang Raja! Haha!


Ps: Sayang, kamu ganteng sekali dengan kemeja baru dan dasi marun itu! Fiwiiiiit....fiwiiiiit!

Thursday, November 16, 2006

SALAH SAMBUNG

Kriiiing.... kriiiing....

Penelepon: Halo, selamat sore.

Penerima telepon: Iya, selamat sore. cari siapa?

Penelepon: Apa ini idealisme? halo apa kabar?

Penerima telepon: Bukan. Idealisme sudah pindah rumah. Sudah lama Sekali.

Penelepon: Apa ada nomor atau alamat yang bisa saya hubungi?

Penerima telepon: Tidak. Tidak ada. Tidak ada yang tahu dia pindah ke mana. Mungkin juga sudah mati.

Penelepon: Kasihan sekali. Kenapa Sampai begitu?

Penerima telepon: Tidak tahu. batang hidungnya pun saya tidak tahu. Saya juga baru enam bulan tinggal di sini. Memang sering ada yang menelepon dan mencari idealisme.

Penelepon: Masa sih kamu tidak tahu sama sekali tentang dia?

Penerima telepon: Kan sudah saya bilang kalau saya tidak tahu.

Penelepon: Apa dia tidak pernah datang? Mengecek surat-surat yang dikirim buat dia?

Penerima Telepon: Tidak tahu.

Penelepon: Masa sih kamu tidak tahu?

Penerima Telepon: kan sudah saya bilang tidak tahu!

Tuuut... tuuuuut....

Telepon ditutup. Percakapan selesai. Tapi si penerima telepon yakin besok masih akan ada penelepon salah sambung, yang mencari idealisme.

"Heran! Populer sekali si idealisme itu!," ujar penerima telepon dalam hati.
Saya menulis tentang perubahan tren migrasi orang-orang Minangkabau. ada 9 tulisan sebenarnya, tapi 5 tulisan yang lain adalah tulisan teman saya dan kolaborasi kami berdua. ada 4 tulisan yang saya buat sendiri.

Coba kamu baca dan kamu interpretasikan sendiri. Syukur-syukur kalau ada manfaatnya.

Selamat Membaca!


Minang yang dilumpuhkan

Jakarta-Jurnal Nasional

Pada masa lalu, orang-orang Minangkabau terkenal sebagai tokoh-tokoh pelopor. Sebut saja Bung Hatta, Sutan Sjahrir, M. Yamin, Tan Malaka, Hamka, Marah Rusli, Chairil Anwar, dan Agus Salim. Kini, orang-orang Minangkabau lebih dikenal karena kemampuan dagangnya daripada intelektual yang mereka miliki.

Bahkan, Gus Dur, tokoh Nahdatul Ulama yang berasal dari luar Minangkabau pernah menanyakan hal tersebut.

“Ke manakah perginya para pemikir dan dan ulama yang dulu memperkaya alam pemikiran dan keagamaan bangsa? Ke manakah perginya pemikiran politik dan kebudayaan yang segar dari daerah yang masyarakatnya menganut adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah?”

Titik awal kemandulan intelektual orang-orang Minangkabau dapat ditelusuri sejak gagalnya pergerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 1958. Jakarta pun segera bertindak. Dengan pesawat, mereka menjatuhkan bom di atas Painan, Padang, dan Bukit Tinggi.

Menurut Audrey Kahin, seorang peneliti yang menulis tentang sejarah pemberontakan Sumatera Barat, peristiwa ini meninggalkan bekas yang mendalam.

“Tahun-tahun sesudah penyerahan pemberontak PRRI merupakan titik nadir untuk Sumatera Barat,” tulis Audrey dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998.

Saat itu semua tokoh puncak pemberontak, baik militer ataupun sipil, ditahan. Pada akhir tahun 1961, semua warga Minang dipaksa bermigrasi ke Jawa karena malu disebut pemberontak (force urbanism).

Bahkan, saat datang ke Sumatera Barat di tahun itu, sejarawan Taufik Abdullah menggambarkan kondisi dirinya sebagai seorang perantau yang singgah di negeri orang. Ia yang sempat bangga karena menjabat sebagai asisten dosen dan wakil ketua senat mahasiswa tiba-tiba merasa kecut.

“Apakah orang Minang telah kehilangan sesuatu yang yang selalu mereka banggakan—kepercayaan diri yang tinggi—di kampung halaman sendiri?” tanyanya saat itu.

Tahun 1965 Orde Baru berkuasa di Indonesia dan menanamkan akar-akarnya. Menurut Taufik, Minangkabau tidak hanya menjadi pengikut setia Orde baru, tidak hanya perintah pusat tapi juga wacana yang ada di dalamnya.

“Bagaimana saya harus menahan senyum kalau sekali-sekali sempat mendengar pejabat daerah berbicara dengan gaya ke-Jawa-Jawa-an?” katanya.

Saat Harun Zain, Gubernur Sumatera Barat yang pertama, diangkat, pemulihan psikologis akibat PRRI dilakukan. Minang ingin mendapat citra sebagai “anak bapak yang baik”. Karenanya lahirlah suatu standar bagi keberhasilan pejabat daerah.

Mereka yang berhasil adalah mereka yang dapat menafsirkan apa yang diinginkan pemerintah pusat.

Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, selama itu pula terjadi perubahan pada masyarakat Minang. Pada akhirnya melahirkan masyarakat dan budaya yang feodalistik, patuh pada pusat, dan sikap nrimo. Elit-elit Sumbar mulai meninggalkan medan tarung politik, dan memasuki medan pembangunan ekonomi.

“Akhirnya Minang melahirkan kelas elit formal kekuasaan,” tulis Audrey.

Hal tersebut dapat terlihat dari anugerah Adipura yang berhasil diraih sebanyak dua kali. Atas keberhasilan tersebut, para mantan Gubernur Sumbar pun naik kelas menjadi menteri Soeharto.

Sayangnya, apa yang mereka capai di masa Orde Baru harus dibayar mahal. Menurut Audrey, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritis mereka. Ika Karlina Idris
Kalau Tidak Galiah, Bukan Minang

Jakarta-Jurnal Nasional

Orang-orang Minangkabau, di manapun mereka berada, terkenal sebagai pedagang ulung. Cobalah mampir ke sebuah pasar tradisional, pasti Anda akan menjumpai pedagang asal Minang di sana.

Kalaupun tidak mendominasi, jumlah mereka biasanya cukup banyak.
Bahkan, ada anekdot dalam masyarakat bahwa di setiap perempatan jalan ada orang Minang.

Maksudnya, hampir di setiap perempatan jalan dapat kita temui pedagang Minang yang berjualan di kaki lima ataupun membuka usaha rumah makan Padang.

Rupanya, ada satu kepribadian khas yang dimiliki suku ini. Dan itu menjadi kunci sukses mereka di perantauan.

Menurut Atropolog dari Universitas Indonesia Amri Marzali, keplibadian itu adalah galiah, yang berarti gelisah. Meski belum dapat dibuktikan secara ilmiah, namun kepribadian galiah berasal dari makanan yang mereka santap.

“Pola makan orang Minang yang gemar makanan pedas dan bersantan telah membentuk tempramen seperti ini,” katanya.

Makanan bersantan yang terlalu banyak dapat membuat perut seseorang mual. Sedang makanan yang pedas dapat membuat perut seseorang “gelisah” karena kepanasan.

“Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa jika seseorang mengonsumsi terlalu banyak suatu zat, maka akan mempengaruhi tempramennya. Pada akhirnya, santan dan cabe akan membentuk mereka menjadi orang-orang yang gelisah dan enerjetik,” ujar Amri.

Namun, tidak hanya faktor makanan yang membentuk sifat tersebut. Hal lain adalah pertentangan yang ada dalam masyarakatnya sebagai akibat dari sistem matrilineal yang mereka anut. Sistem matrilineal adalah cara menarik keturunan melalui garis perempuan.

Di sistem ini, harta dan gelar politik juga diwariskan pada perempuan.
Amri menyebut pertentangan tersebut dengan istilah “kontroversi minang”.

Kontroversi pertama adalah menyelaraskan sistem matrilineal dengan prinsip perkawinan eksogami kelompok atau kawin dengan orang di luar kelompok.

Seorang laki-laki yang sudah menikah bertanggung jawab atas saudara perempuan dan ibunya. Sementara itu, istrinya menjadi tanggung jawab mamak atau laki-laki dari keluarga istri yang dituakan.

“Jadi, pada siang hari ia harus berada di rumah keluarganya, tapi pada malam hari ia harus berkumpul dengan istri dan anak-anaknya,” jelas Amri yang juga putera asli Minangkabau.
Hal tersebut bisa dilakukan jika jarak antar rumah berdekatan. Akan tetapi, prinsip perkawinan dengan orang di luar kelompok menyulitkan hal tersebut. Karena otomatis jarak antar rumah berjauhan sehingga sulit untuk pulang balik.

Kedua, adanya perebutan kesetiaan dan tanggung jawab seorang laki-laki. Haruskah ia bertanggung jawab atas ibu dan saudara perempuannya? Ataukah kepada istri dan anak-anaknya?

Ketiga, setiap anak di Minangkabau punya dua orang ayah, yaitu ayah biologis dan ayah sosial, yaitu mamak.

“Dengan adanya dua orang ayah, betapa gelisahnya jiwa mereka saat dewasa,” tegas Amri.

Semua pertentangan-pertentangan tersebut membuat orang Minang gelisah untuk mencari bentuk-betuk struktur yang stabil. Hanya para perantau yang berpotensi untuk memperolehnya. Sedang mereka yang ada di kampung, tetap hidup dalam kondisi ketidaknyamanan itu.

Cara menemukan struktur yang stabil pun bermacam-macam. Misalnya dengan memperistri perempuan yang bukan Minang, berhasil sebagai pedagang di perantauan, ataupun menjadi profesor di perguruan tinggi.

“Jika dihadapkan pada suatu permasalahan, orang Minang pasti galiah. Mereka pun menjadi cerdik, licik, dan tidak mudah kena tipu orang. Sifat-sifat seperti ini tentu dibutuhkan untuk sukses dalam berdagang,” urainya. Ika Karlina Idris
Misi Perantau: Membangun Alam Minangkabau

Jakarta-Jurnal Nasional

Sebagian besar pendapat mengatakan bahwa penyebab utama orang Minang merantau adalah adanya ketidaknyamanan akibat sistem matilineal. Ketidaknyamanan tersebut karena adanya penarikan garis keturunan dan pewarisan harta yang ditarik dari pihak perempuan.

Usman Pelly, Guru Besar Antropologi di Universitas Negeri Medan membantah pernyataan tersebut. Walau mungkin benar pada sebagian orang, namun pada umumnya tujuan dari migrasi Minangkabau adalah untuk memperkaya dan memperkuat Alam Minangkabau.

Seperti apa perwujudan misi tersebut saat ini? Berikut petikan wawancara Jurnal Nasional dengan lelaki yang mengambil gelar doktornya di University of Illinois, USA.

Dalam buku Anda yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangakabu dan Mandailing, tertulis bahwa Orang Minangkabau punya misi untuk memajukan Alam Minangkabau. Masihkah hal tersebut menjadi tujuan mereka merantau?

Meski sudah ada perubahan-perubahan, tapi misi mereka tetap seperti itu. Dulu, para perantau membangun Minang dengan cara tradisional, maksudnya melakukan pembangunan secara fisik.

Sekarang, para perantau membangun kampung dengan membawa pemikiran baru. Hal ini nantinya membuat mereka lebih dihargai di kampung halaman.

Kalau masih membangun fisik, tentunya butuh modal yang besar. Sebagai contoh, membangun potensi dana maninjau tidak lagi dengan membangun hotel-hotel. Bisa saja dengan memberikan rumah untuk dipinjamkan.

“Rumah yang ditinggal penghuninya merantau, bisa dikelola oleh pengurus nagari untuk dijadikan tempat menginap para turis. Mereka senang karena biayanya murah. Orang kampung juga mendapat penghasilan,” urainya.

Hal tersebut juga membangun kampung, meski tidak secara langsung.
Lainnya, para perantau bisa juga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat untuk mengumpulkan keuntungan mereka. Nantinya keuntungan tersebut disalurkan lagi sebagai modal usaha penduduk kampung.

Apakah Gerakan Ekonomi dan Kebudayaan Minang (Gebu Minang) termasuk perwujudan misi tersebut?

Tentu saja. Gerakan ini sebenarnya Gerakan orang rantau dalam membangun kampungnya di Sumatera Barat. Pertama kali, diwujudkan dalam pembentukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh Gerakan Seribu Minang. Dimana setiap perantau mengumpulkan uang seribu untuk pembangunan kampung.

Kemudian, gerakan ini berganti menjadi gerakan Ekonomi dan Kebudayaan Minang (Gebu Minang). Paguyuban itu diharapkan dapat menjadi wadah bagi para perantau yang telah menimba pengalaman di tempat lain untuk menerapkan di daerah asalnya.

Para perantau diminta ikut merencanakan serta terlibat langsung dalam pembangunan di daerahnya.

Dalam hal budaya, mereka punya kegiatan yang disebit Baliak Basamo (pulang bersama). Biasanya dilakukan bagi mereka yang akan merayakan Idul Fitri di kampung.

”Sebagai contoh, orang rantau asal maninjau yang ada di Medan biasanya terlibat kegiatan ini. Ada sekitar 3-4 bus yang mau pulang ke kampung. Biasanya, kami mampir dulu ke Bukit Tinggi untuk beli semen dan bahan-bahan bangunan.

Barang-barang tersebut nantinya kami gunakan untuk meperbaiki masjid atau madrasah yang rusak,” ujar Usman.

Akibat besarnya jumlah urbanisasi dari Minang, Ada keluhan dari para tokoh masyarakat bahwa mereka kekurangan SDM untuk membangun kampung. Hal tersebut rasanya bertentangan dengan tujuan membangun Alam Minangkabau tadi.

Memang benar ada hal seperti itu. Bahkan, pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat itu kan selalu minus setiap tahunnya.

Ini karena orang-orang keluar dari kampung. Sebenarnya, hal ini tidak hanya terjadi di Minang, tapi di seluruh perkampungan yang punya tradisi merantau, misalnya saja Tapanuli.

Sebenarnya, mereka yang merantau diharapkan untuk kembali lagi. Tapi, karena berbagai alasan, mungkin karena sudah nyaman di rantau, mereka tak kembali lagi.

Karena itu, pembangunan yang ada di Sumatera Barat haruslah bisa mencipatakan lapangan kerja. Ini agar orang-orang tak lari mencari kerja ke luar.

Selain itu, harus pula dibangun lembaga pendidikan modern yang bertaraf internasional. Ini untuk pemuda-pemuda Minang, agar mereka tak perlu belajar ke Jawa atau luar negeri.

Terakhir, haruslah ada semacam pelatihan bagi para perantau. Tidak hanya bekal keahlian, tapi juga ditanamkan semangat untuk membangun kampung. Ika Karlina Idris
Pedagang tekstil, Penjahit, dan Pembuat Sepatu

Bandung-Jurnal Nasional

Selain pengusaha rumah makan Padang, pedagang-pedagang Minang biasanya menguasai perdagangan tekstil, menjadi penjahit, ataupun membuat sepatu. Tujuan mereka merantau rupanya dapat menjawab kecenderungan tersebut.

Menurut Antropolog dari Universitas Negeri Medan Usman Pelly, tujuan merantau orang Minang adalah untuk memperkaya dan memperkuat “alam Minangkabau”.

“Harta dan pengetahuan yang didapat dari rantau akan dibawa ke kampung halaman. Hal ini akan sangat dihargai oleh penduduk kampung,” tulis Usman dalam buku Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.

Namun, tak semua orang yang merantau akan sukses. Itulah mengapa mereka yang memutuskan merantau biasanya adalah orang-orang pilihan. Karena jika tidak sukses, mereka akan malu untuk pulang ke kampung halaman.

“Tak ada muka manis bagi perantau yang gagal. Mereka harus kembali ke daerah rantau dan berusaha lagi. Jika tidak, lebih baik larut di rantau dan tidak usah pulang,” tegas Usman.

Ditambah lagi, orang-orang Minangkabau tidak pernah memberikan modal kepada anak-anak mereka. Sebab, semua harta di kampung adalah milik kerabat matrilineal.

Karena terpacu untuk sukses, orang-orang Minangkabau berkonsentrasi pada pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang. Makanya, sangat gampang menemukan orang-orang Minang di pusat-pusat perdagangan.

“Ada tiga ciri dari pekerjaan mereka. Pertama, pekerjaan tersebut bersifat mobile. Kedua, tidak memerlukan modal besar. Ketiga, mudah dipindah atau ditutup sementara jika mereka pulang kampung,” ujar Antropolog yang juga aktif menulis buku ini.

Berjualan tekstil adalah salah satu perekonomian pasar dimana tidak ada harga mati, penjual dan pembeli bertransaksi secara langsung, serta merupakan bisnis ada uang ada barang (cash and carry).

Dorongan-dorongan untuk berhasil, dialami juga oleh Madi Tanjung, 24 tahun, pedagang baju bekas di pasar Gede Bage, Bandung.

Sejak usia 15 tahun, lelaki asal nagari Lubuk Kuar, Padang Pariaman, Sumatera Barat, ini sudah merantau ke Bandung. Awalnya karena ia merasa tak sanggup lagi bersekolah. Oleh orang tuanya, Madi disuruh merantau ke Jawa.

“Saya waktu itu datang hanya modal ongkos. Sampai di Bandung, saya ditampung di rumah sesama orang Minang. Saya juga belum kenal dia, hanya tahu saja kalau dia dari kampung yang sama,” ceritanya.

Dua tahun pertama, ia bekerja sebagai “anak magang” di kios baju bekas milik tema rumanya. Setiap hari, ia dibayar Rp.15.000 sebagai ongkos menunggui toko.
“Saya harus menjaga kepercayaan teman saya itu, lalu saya pun diajari tentang bisnis ini,” tuturnya.

Di umurnya yang ke-17, Madi telah mengumpulkan modal sebesar Rp 2 juta dan telah membuka kios miliknya. Saat ini, anak ke sepuluh dari dua belas bersaudara ini telah mempunyai dua kios. Satu kios dijaga sendiri olehnya dan kios lain dijaga oleh “anak-anak magang” yang berjumlah empat orang.

“Sama seperti waktu saya datang ke bandung, saya juga memberi mereka pekerjaan dengan mejaga kios. Saya tak tahu mereka dari nagari mana, yang saya tahu mereka orang Minang, kami harus saling membantu,” kata Madi.

Teman-teman seangakatan Madi yang datang ke Bandung rata-rata sudah sukses. Bahkan sebagain besar membuka kios di pusat perdagangan yang modern, tidak lagi di lapak-lapak atau kios di pasar.

Madi juga mengaku setiap bulannya mengirim separuh dari keuntungan yang diperolehnya ke kampung. Jumlah yang cukup besar, mengingat keuntungan yang ia peroleh bisa mencapai Rp 1,5-2 juta setiap bulannya.

“Sebenarnya anak-anak ibu saya banyak. Tapi saya tetap kirim. Orang tua kan bangga kalau bisa cerita anak-anak mereka sukses di perantauan,” urai Madi. Ika Karlina Idris

Monday, November 06, 2006


Aku berdiri di bawah pohon sehabis hujan

Kutarik dahannya yang menjuntai

Sampai aku kehujanan sendiri

Oleh hujan yang kukarang sendiri...




(saya lupa pernah baca tulisan ini di mana)
Laki-laki yang Bercerita tentang Senja

Selasa, 31 Oktober 2006

Ada yang bilang, hal yang paling menyenangkan terjadi justru saat kamu tak mengharapkannya.
Saya bertemu kamu lagi hari itu. Dengan cepat saya dapat mengenalimu, meski di antara rak-rak buku.

Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kita tak bertemu? Satu tahun? Dua?

Pernah saya melihat bayanganmu, tapi kan itu semu! Tetap saja bukan kamu.

Lalu, layaknya orang yang baru berjumpa, kita saling menyapa. Saya tak tanyakan kabarmu. Apalah gunanya? Kamu terlihat sama seperti terakhir kali saya melihatmu. Kamu jingga.

Dan ceritamu pun berlanjut hingga ke gerai donat yang ada di sebelah toko buku. Untung saja malam itu hujan. Jadi saya tak harus buru-buru pergi ke kampus.

Sebenarnya, bisa saja saya bertemu kamu lagi. Tapi, apa bisa rindu ditahan?

Dan di sanalah kita.. Duduk sambil menatap hujan yang jatuh ke jalan. Menatap melalui kaca jendela gerai donat. Kita melihat orang-orang yang berteduh dari hujan.

Saya menyeruput kopi. Masih panas ternyata. Lalu saya gigit donat selai kacang bercampur coklat.

Saat saya makan, kamu pun mulai bercerita. Selalu sama, tentang SENJA!

Kamu bercerita tentang langit berwarna merah, langit yang terbakar, dan tentang sebuah kota yang selalu berpelangi.

Lagi-lagi, kamu menyuguhkan cerita yang selalu saya suka. Tentang ikan paus berwarna merah, tentang kunang-kunang peliharaan sukab, tentang pencuri senja, dan tentang si peselancar agung.

Mendengarnya, saya lalu membayangkan ada di sebuah pantai sambil melihat senja. Melihat matahari yang membakar langit. Saya merasakan hangatnya matahari senja, angin pantai yang asin, dan ombak yang menyentuh kaki-kaki saya.

Ah, kamu selalu membuat saya terbuai dengan indahnya senja. Padahal, di luar sedang turun hujan deras. Hujan yang membuat seorang kekasih basah. Tapi, tak ada hujan yang cukup deras bagi seseorang yang akan menemui kekasihnya bukan?

Cerita mu rasanya seperti meniduri kasur yang baru dijemur. Selalu ada sisa-sia matahari di sana. Dan kasur seperti ini paling enak ditiduri saat sedang hujan. Karena selalu ada sisa-sisa bau matahari, meski udara sedang dingin-dinginnya.

Kriiiiing..kriiiiing.....

Dia: “Halo, kekasih, saya di depan toko buku. Sudah malam, jadi parkiran sudah tutup. Motor saya ada di sebelah tukang bak pao.”

Saya: ”Iya, saya ke sana.”

Sudah dulu ya, kekasih saya datang menjemput. Kami akan menembus hujan yang tinggal rintik-rintik saja. Tapi, saya akan mengingat hangatnya senja yang kau ceritakan. Pastinya, akan saya tularkan juga ke kekasih saya.

PS: Oh iya, saya baru ingat! kita terakhir kali bertemu tanggal 17 mei dua tahun yang lalu, waktu teman saya puti berulang tahun.